Pelangi POV
Aku berdiri lemas di atas rumput yang basah. Mataku memerah, menatap langit yang mendung. Sekejap, aku memejamkan mataku, sedetik berikutnya air mataku meleleh begitu saja tanpa kuperintah.
Kedua tanganku terkepal kuat sampai-sampai jariku terasa kebas, rahangku juga mengeras, seberusaha mungkin, aku menahan amarah yang berkecamuk di dada. Perlahan, butiran bening jatuh ke bumi menerpa lembut wajahku yang terlihat sangat kacau.
Aku menjatuhkan tubuhku lemas, diriku terisak di dalam kesepian, tidak ada lagi seseorang yang menemaniku ketika aku sedang menangis. Tidak ada lagi seseorang yang memeluk tubuhku ketika aku dalam kesepian. Kemudian, aku menjambak rambutku frustasi, aku sangat tertekan dan depresi.
Sekarang, diriku terasa sangat putus asa, tidak ada lagi semangat hidup seperti dulu, tidak ada lagi kebahagiaan yang pantas dimiliki untuk gadis seperti diriku.
Aku membuka mataku kembali, lalu punggung tanganku bergerak untuk menghapus air mata. Aku bangkit, kakiku membawa diriku ke arah tepi jembatan, walaupun kaki ini terasa sangat lemas untuk berjalan.
Setelah aku sampai di tepi jembatan, beberapa kali aku membuang nafas kasar. Kemudian, gadis sepertiku tersenyum pilu ketika aku melihat di bawah jembatan yang terdapat bebetuan besar dan air yang sangat deras. Aku menatap pemandangan itu dengan tatapan hampa.
Sungguh! Mungkin kepalaku akan hancur karena bebatuan, lalu mayatku hanyut begitu saja seolah aku hanya barang bekas yang dibuang begitu saja.
Aku menghirup udara untuk yang terakhir kalinya, aku rasa pasti Tuhan akan marah kepadaku.
Dengan keteguhan hati, aku melemaskan tubuhku sehingga tubuhku tidak seimbang, aku memejamkan mataku, lalu menintikkan air mataku untuk yang terakhir kalinya. Sedikit, demi sedikit memori itu kembali berputar layaknya seperti kaset yang sedang berputar kembali.
ー●●ー
Author POV
Kisah ini bermula dari malam Sabtu, hari yang selalu ditunggu oleh semua orang untuk melepas lelahnya di waktu esok. Rumah mewah bercat putih itu diisi oleh seorang gadis muda dan perempuan cantik yang tengah di dapur dengan kedua tangannya yang bergerak gesit memegang ahli dalam memasak, sementara gadis muda itu terlihat hanya diam berdiri di samping kulkas, melihat Tantenya sembari terus menggerutu tidak jelas serta pipi gembulnya mengembung kesal.
"Kamu harus belajar masak, Pelangi. Mau sampai kapan kamu gak bisa masak? Nanti sebelum kamu menikah sudah ditolak mentah-mentah sama calon mertua kamu karena gak bisa masak," Tantenya mengoceh panjang lebar, mengaduk telor mentah yang sudah pecah di dalam mangkok plastik kecil. Wajah lelahnya tergambar jelas dengan sesekali perempuan itu mengelap peluhnya di kening mulusnya.
Mencebik kesal, Sang gadis berbicara dengan tangan yang dilipat di depan dada. "Biarin aja! Lagian nanti aku gak mau punya suami seumur hidup," Pelangi mengangkat bahunya acuh, bibir ranum itu sedari tadi terus bergerak. Mischa yang mendengar jawaban dari keponakannya hanya bisa menghela napas panjangnya, sebenarnya dia juga heran mau jadi apa Pelangi nanti disaat keponakannya itu sudah tidak menginjak usia remajanya lagi, apalagi gadis berkulit putih itu tidak pernah kuliah, dia berhenti sekolah di 3 SMA. Terdengar mustahil sih, tetapi percayalah kenyataannya memang begitu.
"Serah kamu deh, mending bantuiin tante pindahin nasi goreng ini ke meja makan." Perempuan itu memfinalkan pembicaraannya, tulangnya serasa pegal karena tadi siang dia dari Jogja (asal tempatnya) baru sampai ke Jakarta untuk menemani Pelangi selama beberapa hari. Jujur, hatinya sedih disaat gadis itu berdiam diri di rumah karena ayahnya tidak memperhatikan anak kandungnya setelah ibu dari Pelangi meninggal disebabkan kanker hati. Di saat itulah alur kisah gadis itu berubah menjadi menyedihkan, Pelangi lebih sering memanja kepada dirinya, karena keponakannya itu kurang perhatian dari ayahnya, Nathan.
"Aku besok ke mall sama tante, boleh?" Di sela-sela kunyahannya, Pelangi bertanya, kedua netra coklatnya menatap kedua mata Tantenya yang seindah rembulan tanpa berkedip, wajah imutnya memohon kepada Mischa, menarik kedua sudut bibir itu ketika Mischa mengangguk, mengiyakan keponakannya untuk menghabiskan waktu seharian bersama dengannya.
"Boleh. Papa kamu ke club lagi ya, Pelangi?" Mischa memelankan suaranya, bermaksud agar tidak menyinggung gadis yang di depannya saat ini hanya dibatasi meja kayu. Pelangi tersenyum pedih, mengangguk kecil sembari mencoba untuk menahan hatinya yang terbesit.
Lagi-lagi, Mischa menghela napas panjangnya, dia meletakkan sendoknya di atas piring, kemudian perempuan itu menghampiri Pelangi lantas menarik kursi makan yang berada di sebelah keponakannya.
Sesaat berikutnya, tangannya terulur, mengusap lembut rambut panjang yang sangat dirindukan olehnya. "Kangen sama Caramell?" Tanya Mischa dengan nadanya yang bergetar, rasanya dia ingin menangis, tetapi ini bukan waktu yang tepat. Pelangi mengumam samar, mengunyah makanannya walaupun dia tidak niat untuk makan saat ini.
"Aku juga kangen sama Papa, Mama. Om Jun aku juga kangen," ucap gadis itu yang membuat Mischa tidak bisa menahan bendungan air matanya lagi, tanpa diperintah olehnya cairan bening itu keluar satu persatu, menandakan bahwa dia benar-benar sedih dengan kehidupannya Pelangi. Jun adalah suaminya yang saat ini berada di Tokyo, ternyata Pelangi juga merindukan Om-nya.
Sembari terisak pelan, perempuan itu langsung memeluk tubuh keponakannya dari samping, tubuh ringkih yang berisi semua penderitaannya, Pelangi yang mendapatkan pelukan itu tiba-tiba tampak terkejut, bibirnya terkatup rapat, sedangkan gendang telinganya sakit ketika mendengar Tantenya yang menangis.
Menahan napasnya, gadis itu mengulum senyuman manis, membalas pelukan itu tak kalah erat, kemudian diam-diam dia ikut menangis.
______
Part ini aku ulang, jadi kalau misalnya di part dua kurang enak ceritanya maklumin ajalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori disaat Hujan
JugendliteraturStart: Februari 2020 Finish: Ada yang pernah bilang, bahwa pelangi selalu muncul setelah hujan. Tetapi, menurut gadis itu, pelangi tidak akan selalu menggantikan hujan apabila hujan telah pergi begitu saja, begitupun sama dengannya. "Kak, cinta itu...