36: Mengikuti

20 3 0
                                    

"Bolehkan kau tinggalkan kami berdua hanya sebentar saja?" pria itu memecahkan keheningan, menatap perawat yang baru saja memasangkan plester di wajah Pelangi yang terluka. Saat itu, kerutan di dahi gadis itu muncul sejenak, kedua netra coklatnya beradu pandang dengan pria yang berada di sisi bankar dengan tatapan sarkas. Sementara Sang perawat mengangguk, dengan segera dia merapikan kotak plester dan berjalan keluar dari ruangan sebelum akhirnya perawat itu menunduk ramah sekilas.

Sepeninggalan perawat itu, suasana berubah menjadi sunyi, si pria melipatkan kedua tangannya santai di depan dada, melangkahkan kakinya mendekati sofa lantas mendudukan tubuhnya yang lelah, menselonjorkan kaki panjangnya, kemudian membuang nafas beratnya ke udara. 

"Harus aku mulai darimana permainan ini?" Pria itu buka suara, mengangkat satu sudut bibirnya, dengan kedua matanya yang tak lepas dari gadis itu, sementara yang ditatapnya hanya diam, tidak membalas ucapannya yang terdengar sangat konyol.

Sejenak, pria itu mengangguk tanpa alasan, menunjukkan wajahnya yang putus asa, mau seberusaha keras sampai kapanpun gadis itu tetap tidak mau bicara dengannya, hanya ada satu cara baginya agar Pelangi bisa mengeluarkan suara lembutnya. "Apakah kau tidak marah kepadaku?" Dia bertanya, menaikkan satu alis hitamnya. Gadis itu menoleh dengan jengkel, membenarkan posisi duduknya serta menyenderkan punggung sempitnya seolah dia sedang melepaskan penatnya.

Kemudian, Pelangi mendongakkan dagunya, wajahnya tetap datar tidak menunjukkan ekspresi sama sekali, "Kenapa saya harus marah?" Suaranya, terdengar kesal.

Yang ditanya tertawa pelan, menggerakkan kepalanya ke kanan lalu ke kiri, pria itu merasakan sakit di setiap sendi lehernya. "Haah...kukira kau akan menamparku setelah aku memberitahukan identitas yang sebenarnya. Logikaku berkata, kau akan menamparku setelah kau sudah sadar, ternyata dugaanku salah tentang itu" pria itu menghela napasnya pelan, lantas menengakkan tubuhnya yang terasa kaku. Berbeda dengan Pelangi, gadis itu mengkerutkan keningnya heran dengan alisnya yang menukik tidak suka.

"Kenapa saya harus menamparmu? Bukankah itu sangat bodoh?!"

"Kau sendiri, apakah tidak bisa dibilang bodoh?" Dia mendengus, diam-diam pria itu sangat bahagia ketika melihat wajah Pelangi yang telah berubah menjadi marah, auranya sungguh mencekam.

"Maksudmu?" Suara Pelangi tertekan, menggertakkan gigi kesal.

"Hei? Kau bertanya tentang ini? Kubilang kau sangat bodoh, mengatur alur permainan yang terbilang sangat gampang bagiku!! Jadi, kuperingatkan, jauhi Razell atau kauー"

"DIAM BRENGSEK!!!!" Berhasil. Pria itu bisa membuat Pelangi berteriak marah, gadis itu mengeluarkan air matanya satu persatu, menatap Si lawan bicara secara tajam, menatapnya tidak bersahabat dengan kedua netra coklatnya yang memerah. "Kau mau bunuh saya? SILAHKAN!!" Kali ini nadanya naik beberapa oktaf dari yang awal, jemarinya yang lentik meremas ujung bajunya.

"Pasangan yang sangat setia," pria itu memalingkan wajahnya, kemudian berdiri, tangannya bergerak membenarkan jas kantor sejenak. "Kurasa waktuku sudah habis, setelah ini aku langsung kerja terlebih dahulu. Baiklah, kalau begitu, aku pamit pulang dulu, titip salam untuk pacar bodohmu, Razell." Ujarnya sembari tersenyum sinis, sesaat berikutnya dia pergi meninggalkan Pelangi seorang diri di ruangan ini.

"Kak.. Kamu jangan khawatir ya? Aku akan selalu melindungi kakak dari orang jahat. Nyawa kakak, adalah nyawaku juga. Kak Razell hidup, begitupun dengan aku. Aku sayang sama Kamu, kak...." gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan wajah pucatnya di beberapa helaian rambut, menangis tanpa suara, menangis untuk seseorang yang sangat dicintainya, sampai akhirnya kepala Pelangi mendongak, netranya yang basah bergulir ke arah pintu yang baru saja seorang perawat masuk lantas berjalan ke arahnya sembari tersenyum ramah.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang