3: Perempuan lain?

151 7 0
                                    

Matahari sudah terbenam, menampilkan langit yang sudah gelap menandakan bahwa sekarang sudah malam. Mereka berdua baru sampai di pekarangan rumah, beberapa bungkusan plastik berwarna putih dibawa oleh Mischa. Sementara Pelangi membawa boneka beruang besarnya, memeluknya erat dengan wajahnya yang lesuh.

Kedua manik mata Pelangi melebar terkejut, bola matanya berbinar senang, baru saja dia menangkap sebuah mobil ayahnya yang berada di bagasi mobil, itu tandanya Nathan sudah pulang setelah hari kemarin pria itu pergi.

"Tante, Papa sudah pulang!" Pelangi berseru, memegang lengan kiri Mischa dengan cepat, menarik tantenya agar segera masuk ke dalam rumah yang membuat sang empunya terkejut seketika.

"Hei, Pelangi!! Tunggu sebentar, tante belum ambil kunci mobilnya," Mischa berteriak, berjalan dengan tertatih-tatih, dengan sesekali tersandung tetapi diabaikan oleh gadis itu. Saking gembiranya Pelangi mau bertemu dengan ayahnya, mau tak mau Mischa hanya menghela napasnya, mengikuti tangannya yang ditarik oleh keponakannya sampai di ruang tengah.

Mengatur napasnya sejenak, kedua mata lentik gadis itu menurusi setiap ruangan, mencari ayahnya ada dimana saat ini. "Papa ada dimana, ya, Tan?" Tanyanya dengan suaranya yang lembut.

Mischa merotasikan bola matanya malas, tetap berdiam di tempat ketika Pelangi mulai berjalan menaiki tangga dengan terburu-buru. "Hati-hati, Pelangi!" Dia menegur, membuang napas pendeknya, tetapi percuma lah kalau dia menegurnya, lihat saja, Pelangi tidak mempedulikan ucapannya, malahan dia semakin mempercepat langkahnya yang menaiki tangga.

"PAPA!!" Pelangi memanggil ayahnya sembari berjalan menuju kamar Sang ayah, kemudian, tangan kecilnya terulur, mendorong pintu kayu kamar itu dengan gerakan sangat pelan, membuat suara decitan terdengar samar yang refleks kedua orang di kamar itu terkejut dari kegiataannya.

"Pa-pa? I, itu siapa?" Gadis itu terkejut, nada suaranya terdengar gemetar, nyaris air matanya ingin jatuh akan tetapi seberusaha mungkin dia menahannya. Pria itu, memandang anak kandungnya dengan datar, tangannya masih memeluk pinggang ramping wanita asing dari samping.

"Sedang apa kau disini?" Ujarnya, denga nada  dingin, tidak peduli dengan reaksi anak kandungnya ketika dia tengah memeluk wanita lain selain ibu dari gadis itu. Sementara wanita cantik mempesona itu hanya mengangkat bahunya cuek, memandangi Pelangi dari atas sampai bawah.

"Paー"

"Oh.... jadi ini anak kamu, sayang?" Kalimat Pelangi terputus, wanita itu bertanya sembari alisnya menyatu, tidak suka dengan penampilan Pelangi yang terlalu seperti anak kecil. Gadis itu hanya diam, tidak berkutik sama sekali, kakinya terasa lemas seketika, sorot kedua matanya terlihat marah.

Sekilas Nathan menggeleng, menarik pinggang samping wanita itu, lalu menyenderkan kepalanya di bahu kekasih mainannya. "Haahh.. sayang, sudah kubilang, dia bukan anakku, dia hanya benalu di kehidupanku. 'Kan kamu sudah tau, kalau anak aku ini ada di dalam perut kamu. Jadi, jangan bertanya seperti tadi lagi, oke? Memalukan sekali" Nathan tersenyum kecil, mengelus perut yang sedikit membesar dengan gerakan sayang, menulikan pendengaran ketika dia mendengar suara isakkan kecil dari putrinya.

"Pa, aku sayang papa.." Pelangi menangis, melangkahkan kedua kakinya menghampiri Sang ayah, menatap ayahnya memohon tetapi diabaikan oleh Sang lawan bicara. "Aku sayang papa dan mama, pa. Tapi kenapa papa berubah menjadi dingin ke Pelangi. Aku sedih, kalau papa menyentuh perempuan lain selain mam dan aku. Kalau Pelangi punya salah, maafin pa. Apa papa gak sayang sama mama, dan pelangi lagi?" Dia berlutut di depan kaki ayahnya, menangis kencang dengan wajahnya yang sudah memerah. Yang dibenaknya hanyalah Sang ayah, sosok kepala keluarga memeluknya dengan erat dan bangga, dia ingin seperti yang lainnya, bermain dengan kedua orang tuanya. Tapi... mustahil.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang