34: Tembakan

27 3 0
                                    

"Mengapa kamu melanggar janjimu?"

Gadis itu terdiam membeku, menatap sepasang netra seindah rembulan itu dengan tatapan tidak percaya, sahabatnya yang lebih tua dari gadis itu berdiri dengan wajah kecewa di depannya

"Ca-Caramell?" Lidahnya sangat kelu, keningnya berkerut beberapa kali lipat, seberusaha mungkin dia meneguk ludahnya sulit. Jantungnya berdegup cepat begitupun seluruh tubuhnya mulai bergetar

"Apa kamu lupa dengan janjimu kepadaku?" Sosok Caramell itu bertanya dengan lirih, kedua ujung matanya berair serta netra legam itu memerah, menahan semua amarahnya. Sementara Pelangi hanya terdiam, otaknya sedang kosong, tidak menjawab pertanyaan dari sosok yang sangat dirindukannya. "Maaf, kalau aku membebani kehidupanmu, seharusnya aku tidak menyerahkan tanggung jawab ini kepadamu," Dia menggeleng, meneteskan air matanya yang tadi dia bendung.

Sesaat berikutnya Pelangi tersadar, dia ingin meraih kedua pergelangan tangan kurus sahabatnya tetapi Caramell lebih dulu mundur selangkah. "Jadi batas mental kamu segini, Pelangi? Langsung menyerah, ketika Razell telah salah paham kepada kamu?" Ucapan sarkas yang telontar dari mulut sahabatnya sendiri membuat dadanya bergejolak, butiran bening turun dari kedua pelupuk matanya, bahunya naik turun seiring dengan isakannya yang mulai terdengar.

"Maaf Caramell, tapi  Kak Razell tidak mau membuka pintu hatinya lagi untuk siapapun kecuali kamu, Caramell. Hanya cinta setianya adalah kamu, aku tidak bisa mengganti posisi yang dulu ditempati oleh kamu, Mell..." gadis itu mengelak, melangkahkan kakinya maju selangkah untuk menjelaskan semua ini kepada sahabatnya tetapi perlahan bayangan itu memudar, sosok itu ditelan oleh kabut putih, yang membuat Pelangi histeris.

"CARAMELL!!" Seketika semuanya menjadi mustahil, sepasang mata terkejut itu terbuka lebar, serta tubuhnya menjadi terduduk dengan keringat yang bercucuran deras di wajahnya.

Masih dengan nafasnya yang tersenggal, gadis itu menggelengkan kepalanya, mencoba untuk mengatur nafasnya sejenak. Kemudian, ponselnya yang berada di atas nakas berdering, menimbulkan suara yang cukup berisik membuat Si pemiliknya terkejut, nyaris terjungkal.

"Tante?" Panggilan itu tertera nama kontak tantenya, tanpa berpikir lebih dulu, gadis itu segera menggeser tombol hijau lantas menempelkan di telinga kanan.

"Iya Tan, ada apa tante menelepon pagi-pagi?" Pelangi bangkit dari posisi duduknya, berdiri di sisi ranjang dengan tangannya yang sibuk menguncir rambut tebalnya, sehingga ponsel itu diapit diantara bahu dan telinga.

Lalu, gadis itu mendengar suara tantenya dari seberang sana. "Ahhh, tante cuma mau tanya doang, disana kamu gak telat makan 'kan? Baik-baik saja 'kan kehidupanmu di Jogja?" Pertanyaan rentetan dari Mischa tidak membuat Pelangi risih akannya, justru dia sangat senang jika Tantenya memberi pertanyaan tentang keadaannya walaupun mereka berdua berbeda jarak jauh tetapi Mischa masih memperhatikan keponakannya.

"Iya Tante. Kabar tante baik juga 'kan?" Pelangi mengulum senyuman manis, merapikan sprei dan selimut agar terlihat semakin bersih.

Mischa diam selama beberapa saat, melirik sekilas suaminya yang berada di belakangnya, pria itu sedang menggunakan kemeja dokter dan jas putihnya. "Em, ya. Tante bahagia kok di Jakarta,"

"Oh ya? Tante sudah menemui papa?" Kedua netra coklat gadis itu berbinar, air mukanya terlihat senang.

"Hm, sudah. Kata papa kamu dia ingin meminta maaf kepada anak gadis lucunya, katanya kangen..." nada itu terdengar lirih, bukan karena ucapannya barusan, akan tetapi suaminya keluar dari kamar hotel dengan wajah dingin, Jun tidak mengucapkan satu kata pun setelah kejadian kemarin malam, apa pria itu benar-benar marah?

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang