"Kenapa kamu menyuruhku ke Jakarta?" Perempuan berwajah muda itu berseru, tangan kanannya menyeret koper sehingga menimbulkan suara berisik di lorong rumah sakit, dia berjalan beriringan bersama suaminya yang baru saja menjemputnya di bandara.
Pria itu menghela nafasnya sejenak, menyunggingkan senyuman tipis. "Nathan yang memintaku," kalimat itu mampu membuat perempuan itu tercekat seiring dengan langkahnya yang terhenti dan otomatis suaminya juga memberhentikkan langkahnya, raut wajahnya berubah menjadi heran, dia menatap Jun sembari menaikkan kedua alisnya seolah dia berkata meminta penjelasan.
"Akan aku ceritakan nanti. Sekarang kamu temui dia dulu, kopernya biar aku yang bawa." Meski masih bingung, Mischa menurut, menyerahkan kopernya kepada Jun. Lantas perempuan itu melenggang pergi, melangkahkan kaki jenjangnya untuk menemui seseorang yang telah memanggilnya kesini.
"Kamu mengetahui informasi tadi malam tidak? Seseorang yang tidak dikenal menyamar menjadi pengunjung temannya dan memasuki kamar E124. Syukurlah, salah satu suster dari kita melewati kamar itu dan langsung berteriak ketika mendengar suara pasien yang merintih."
Perempuan itu memberhentikkan jalannya di depan ruangan ICU, dia mempertajamkan pendengarannya ketika dua suster tak jauh darinya sedang bergunjing menceritakan kejadian tadi malam.
Salah satu dari suster itu bertanya, mengecilkan nada suaranya. "Apa pembunuh itu tertangkap?" Si lawan bicara menggeleng, menunjukkan wajah kecewanya.
"Tidak. Dia berlari, melompat keluar dari jendela untuk melarikan diri dari semua orang yang belum memasuki kamar itu. Dan aku dengar cctv tidak bisa menangkap wajah Si pelaku karena dia memakai tudung jaket berwarna hitam dan bermasker." Suster itu menjawab, menghela napasnya sejenak. "Sudahlah, kita lanjutkan pekerjaan terlebih dahulu. Ini bukan masalah biasa, serahkan semuanya kepada polisi," akhirnya kedua suster itu memfinalkan pembicarannya, dan dia berjalan menjauh dari tempatnya tadi, sehingga kedua suster itu tidak menyadari bahwa ada yang menyimak tentang percakapaannya.
"Kamar E124? Bukankah itu kamarnya Nathan? Ya allah apa yang terjadi lagi?" Perempuan itu terkejut, matanya membulat seketika, dia hampir menangis dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai kalau tidak ada banyak orang. Sejujurnya, Mischa kecewa kepada Jun karena tidak memberitahukan semua hal penting ini kepadanya tadi, apakah Jun menganggap kalau istrinya bukan tokoh yang terlalu penting sehingga dia merahasiakan semua ini.
"Jun..." perempuan itu menelepon suaminya dengan suara serak, dia memegang ponselnya dengan gemetar.
"Hei, ada apa sayang? Kamu kenapa menangis?" Terdengar nada suara dari seberang sana khawatir, Jun menjauh dari beberapa dokter yang tadinya sedang berbincang.
Mischa menahan nafasnya, seberusaha mungkin dia memberhentikan tangisannya. "Aku ada di depan ruang ICU kanker." Di detik berikutnya, Jun mematikan ponselnya, berlari untuk menemui istrinya dengan keadaan yang meninggalkan dokter-dokter lainnya, dia tidak mempedulikan itu semua sekarang, yang dipikirannya hanyalah Mischa, Sang istri.
Dengan nafas tersenggal, dia menuruni tangga, melangkahkan kakinya panjang melewati beberapa kamar rumah sakit. Hingga saat itu, langkahnya terhenti, dia menabrak seseorang yang juga tengah berlari dari arah berlawanan. Dia memakai topi dan ditambah lagi tudung hoodie.
Tersadar, orang itu menunduk, melangkahkan kakinya melewati tubuh Jun dengan tergesa. Tetapi sebelum orang itu menjauh, Jun lebih gesit mencekal pergelangan tangannya, tidak membiarkan orang itu pergi dari perbuatannya.
"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Jun bertanya, membalikkan badannya sehingga berhadapan dengan punggung orang itu. "Kau tidak mempunyai keluarga yang sedang dirawat disini bukan?" Jun menaikkan sebelah alisnya hitam, menatap ke lawan bicara dengan datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori disaat Hujan
Teen FictionStart: Februari 2020 Finish: Ada yang pernah bilang, bahwa pelangi selalu muncul setelah hujan. Tetapi, menurut gadis itu, pelangi tidak akan selalu menggantikan hujan apabila hujan telah pergi begitu saja, begitupun sama dengannya. "Kak, cinta itu...