29: Manis

39 4 0
                                    

Setelah kejadian kemarin sore, keduanya tidak saling bicara satu sama lain. Sikap Razell mendadak menjadi dingin dan acuh kepada kekasihnya. Anak lelaki itu tidak tau kenapa dia bisa semarah ini setelah melihat Pelangi tertawa bersama pria lain sehingga gadis itu melupakan dirinya.

Apakah kau sedang cemburu?

Hei, tolonglah dimanakah harga dirimu, Razell. Tunjukkan sifat aslimu yang sebenarnya, jangan memakai topeng diam-diam.

Menggerang sekali lagi, anak lelaki itu membasuh wajahnya dengan air yang mengalir, mencoba untuk menepis tentang perasaannya. Hari ini dia akan kembali bekerja, sudah dua hari Razell cuti pekerjaannya, walaupun Alfian bilang kepadanya tidak apa-apa, aku bisa menjaga cafe sendiri, tetapi itu tidak membuatnya semakin menjadi-jadi cuti setiap hari.

Menyambar handuk di gantungan, kemudian dia mengelap wajahnya yang basah, mengusap jambul hitamnya. Sedetik berikutnya pergerakkannya terhenti, ketika ponsel berdering di saku celananya.

Berdecak kecil, dia merogoh benda pipih itu, menatap pantulan bayangan wajahnya di cermin tanpa melihat terlebih dahulu nama Si penelepon.

"Ya?" Dia bertanya lebih dulu, pembukaan singkat dan terkesan nada suaranya dingin. Terdengar helaan nafas dari seberang sana, sepertinya dia harus lebih bersabar lagi menghadapi sikap anak lelaki itu.

"Kak. Aku boleh minta tolong gak?" Gadis itu bertanya memohon, di tempatnya dia bediri di depan toko roti.

"Apa?" Suara berat itu menggema di dalam kamar mandi, membuat pantulan sedikit terdengar samar.

Mengelap keringatnya, Sang gadis berbicara. "Jemput aku di toko roti kak, sampingnya restoran. Bisa gak kak?" Saat itu juga kening Razell berkerut, menahan decakkan di ujung bibirnya.

Kemudian dia menghela napas panjang, "Ya. Tunggu!" Dia mematikan sambungannya, melangkahkan kakinya keluar dari kamar setelah mengambil kunci mobilnya di atas nakas.

"Mau kemana Razell?"

Langkahnya terhenti, sebias suara bertanya kepadanya dari ruang tengah, semua keluarganya sedang berbincang kecil sebelum akhirnya Daniel tidak sengaja melihat keponakannya lewat.

"Kerja om." Jawab Razell cepat yang masih setia menunggu kelanjutan om-nya.

"Kerja atau kencan?" Daniel menggoda anak lelaki itu, dia mengedipkan matanya yang membuat wajah tampannya semakin bersinar.

Kemudian, Razell menghela napasnya samar, dia mencoba untuk tidak tergoda dengan Daniel. "Dasar jomblo!" Dia mengumpat pelan, namun suaranya masih terdengar jelas oleh Daniel.

Sesaat berikutnya Daniel menunjukkan wajah kesalnya, dia mengeluh sembari berujar. "Durharka banget punya ponakan," dia mencebik, membenarkan jambul birunya.

Anak lelaki itu merotasikan bola matanya malas, lalu hembusan nafas kasar yang keluar dari mulutnya terdengar. "Udah ya, om. Aku mau kerja, nanti telat lagi gegara Om Daniel." Dia mengangkat bahu, dan saat itu juga kedua netra legamnya tidak sengaja terfokuskan kepada Risma, perempuan itu tengah memandanginya dengan tatapan aneh.



Gadis itu tersenyum senang ketika kekasihnya benar-benar menjemputnya, walaupun dia telah menunggu lama disini, tetapi dia tidak mempermasalahkannnya karena Razell telah menepati janjinya. Sosok yang sangat setia.

"Kak Razell mau?" Gadis itu bertanya, menyodorkan satu rotinya setelah dia memakai sabuk pengaman mobil.

Sang lawan bicara menggeleng,
"Buat lo aja, tadi gue udah sarapan di rumah." Dia menolak secara halus. Kemudian 2 detik berikutnya, ponselnya yang berada di dashboard mobil bergetar.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang