Perempuan itu terus berbicara panjang lebar ketika dia menceritakkan semua kekesalannya di sepanjang malam kepada Pelangi, dengan sesekali mengumpat pelan. Mischa tidak habis pikir, bahwa dia selama di rumah Daniel hanya diam saja, menjadi penonton yang tidak berguna.
Di akhir ceritanya, perempuan itu mencebik kesal, mengembungkan pipinya. "Gimana tante gak cemburu coba? Sementara suami tante sendiri gak sadar kalau masih ada istrinya." Mischa mendengkus sarkas, menahan kecemburuannya.
Si penyimak hanya tersenyum tipis, kalau di lihat Mischa itu seperti masih remaja, cemburu kepada pasangannya yang belum halal. Lucu. "Ya udah, Tante kalau gitu nikah lagi sama Om Daniel," saat itu juga, ketika dia mendengar kalimat yang diucapkan dari bibir ranum Pelangi dengan santai membuatnya melotot kaget.
Terkejut selama beberapa saat, sampai akhirnya perempuan itu mencubit paha Pelangi membuat Sang empunya meringis kecil. "Dasar ya kamu! Pernikahan itu bukan bahan mainan." Mischa memutar bola matanya jengah.
"Siapa yang bilang kalau pernikahan itu mainan? Kalau tante ngomong gitu berarti mau ya, kan?" Pelangi menggoda Tantenya, dia mengedipkan sebelah matanya yang membuat Mischa mendelik geli.
Lagi. Mischa memutar bola matanya. "Serah!" Pelangi mencoba untuk menahan tawanya, dia senang kalau Mischa mengambek, jarang gadis itu melihatnya.
Kemudian, gadis itu menghela nafasnya samar. "Tante kalau cemberut tambah cantik deh, setiap aku ngeliat Tante rasanya aku sedang melihat Caramell dalam jiwa lain." Ujarnya pelan, dia merosotkan bahunya. "Kangen..."
Kedua netra Mischa bergerak, menatap kedua bola mata coklat Pelangi yang terlihat berubah, tidak ada keceriaan lagi di dalamnya. "Besok kamu boleh pulang kan?" Tanya Mischa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan keponakannya tadi. Sesaat berikutnya, Pelangi mengangguk sekilas, wajahnya terlihat murung.
"Besok sore kamu mau ikut sama Tante ke restoran?" Pelangi menjawab dengan gelengan, selanjutnya gadis itu membuang nafas pendeknya ke udara.
Kemudian, Pelangi menggaruk kepalanya. "Besok aku diajak jalan sama Kak Razell, Tan." Nada suaranya kembali memelan, tidak merasakan bahagia sama sekali.
"Kok kamunya gak senang gitu sih? Harusnya kamu happy dong, ada yang mau ajak kamu jalan." Mischa mendengus, dia tidak mengerti lagi dengan jalan pemikiran Pelangi. Masalah percintaan memanglah sulit dipahami oleh gadis seperti Pelangi.
"Iya iya." Keponakannya menanggapi, dia dengan terpaksa tersenyum sangat lebar sampai-sampai matanya ikut menghilang.
Perempuan itu yang melihatnya mencoba untuk sabar, dia kesal setengah mati dengan Pelangi. "Percuma kalau kamu senyum, tapi dengan ada kata terpaksanya. Bukannya tambah cantik, malah makin jelek!" Ujarnya jengkel, lantas Mischa menghembuskan nafas panjangnya.
Pelangi menggumam pelan, dia memejamkan matanya sejenak, sesaat berikutnya gadis itu menguap. "Aku tidur duluan ya Tan." Tanpa menunggu jawaban tantenya, gadis itu sudah masuk ke dalam mimpinya.
Mischa terdiam di tepi ranjang, dia memandangi wajah damai Pelangi. Wajahnya menggambarkan sosok perempuan polos, lemah lembut tetapi terkadang sikapnya berubah menjadi dingin. Sosok yang istimewa, melewati masa kelamnya seorang diri, hingga berikutnya Mischa mengucapkan sesuatu dengan lirih. "Papa kamu sedang kritis, sayang."
Saat itu juga, sebenarnya Pelangi belum tertidur sepenuhnya.
ー●●ー
Rambut tebal itu dielus dengan kasih sayang. Sehelai, tetapi lembutnya terasa sangat lembut disentuh. Gadis itu menggumam serak, seperti khas seseorang yang terbangun dari tidurnya. Dia mengucek kedua matanya, terkejut, melihat Razell yang sudah ada di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori disaat Hujan
Teen FictionStart: Februari 2020 Finish: Ada yang pernah bilang, bahwa pelangi selalu muncul setelah hujan. Tetapi, menurut gadis itu, pelangi tidak akan selalu menggantikan hujan apabila hujan telah pergi begitu saja, begitupun sama dengannya. "Kak, cinta itu...