4: Pindah ke Jogja

133 6 0
                                    

Pelangi menarik resteling jaketnya yang tadinya setengah terbuka, memperlihatkan kaos putihnya yang polos. Gadis itu menyeret koper miliknya, masih terjaga-jaga berjalan di samping Mischa setelah turun dari pesawat. Wajah Pelangi tampak pucat, rambut kuncir kudanya sedikit berantakkan akibat dia tidak betah sama sekali kalau dikuncir, terlalu kencang Mischa mengikatnya sehingga ujung rambutnya ketarik tak mengenakan.

Kemudian, gadis itu mendongak di balik kaca mata hitamnya, sembari berjalan dia menatap langit yang terlihat cerah, sinar matahari membuat kota Jogja terasa panas, seiring dengan bulan yang memasuki musim panas. Kemarin malam, Mischa menarik tangannya, membawanya ke kamar lalu menenangkan Pelangi yang masih menangis sesenggukan, bahu kecilnya bergetar diringi isakkan tangisannya yang pilu. Pelangi yang tetap kukuh pada pendiriannya untuk pergi dari kurungannya dengan segera Mischa memilih opsi untuk membawa Pelangi ke Jogja, asalkan Mischa tidak mau melihat keponakannya yang telantar di pinggir jalan.

Dan tadi pagi pun, Pelangi dan Mischa berangkat ke bandara, kebutuhan Pelangi sudah Mischa urus dari tadi malam, sampai-sampai Mischa pusing dibuatnya karena Pelangi terus menangis tanpa henti, sudah beberapa kali dia menghiburnya, namun niscaya, itu semua hanya percuma saja. Terbukti dari wajah Pelangi hari ini yang terlihat murung dan pucat.

Mischa mendengus diam-diam, mengusap tengkuknya yang terasa kaku, efek karena dari tadi dia tidak berbicara sama sekali, rasanya hambar kalau berbicara sendiri tanpa respon dari lawan bicaranya, itu pengalaman sungguh memalukan untuk semua orang.

Tak lama kemudian, ponsel Mischa berdering, ia mengambil ponselnya yang berada di tas slempang, lantas mengangkatnya tanpa melihat nama si pengguna telepon. "Ya, halo?" Dia mengapit ponselnya di kepala dan bahu, kedua matanya menelisir tempat untuk berdiam terlebih dahulu, tidak enak kalau menelepon sambil berjalan.

"Iya, Ma. Aku Caramell, Mama sudah sampai di bandara?"  Oh, rupanya putrinya yang menelepon. Wanita itu, yang mendengar suara cemas dari Caramell hanya tersenyum menghela, merasakan kesenangan entah karena apa.

"Yes... Mama sudah sampai kok di bandara. Ada apa?" Ujarnya.

"Aku jemput Mama sama Pelangi, ya? Gak apa-apa, kan, Ma?"

Mendengar itu, Mischa tertawa kecil. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Caramell? Gak apa-apa kok, kalau kamunya mau."

Caramell ikut tertawa di seberang sana, menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. "Oke, Mom. Tunggu disana, ya?"

"Iyaaa, sayang.."

Segera sambungan diputuskan secara pihak oleh Mischa, tersenyum kecil dia memasukkan ponselnya kembali, kemudian di benaknya ada sesuatu yang ganjal, sesuatu yang membuatnya lupa. Satu detik.. dua detik.. tiㅡ ah dia ingat, Pelangi tidak ada di sampingnya. Mischa berlari pelan, membelah keramaian para turis, dan beberapa penumpang yang baru saja turun dari pesawat, menabrak orang-orang tak habis pikir.

ㅡ●ㅡ

Sepertinya gadis itu baru menyadari kalau Mischa tidak ada di sampingnya, Pelangi gelisah setengah mati, mengusap keringatnya yang berada di dahi dengan telapak tangan, mendesah kecewa karena kedua kakinya mulai terasa pegal yang habis berjalan tanpa arah.

Memijat pelipisnya sebentar, tidak memungkinkan bisa menghilangkan pusing di kepalanya, tapi entahlah, dia merasa mual tiba-tiba. Kedua netranya terlihat lesu, terdapat di kantung bawah matanya setengah lingkaran hitam seperti panda betina yang tampak pucat, berjalan sembari menyeret koper.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang