18: Sahabat Kuliah

48 4 0
                                    

Anak lelaki itu keluar dari mobilnya, dia berhenti di depan sebuah cafe, tempat dia berkerja. Sudut bibirnya tertarik, Razell tersenyum ramah kepada beberapa pengunjung yang baru keluar dari cafe tersebut.

Razell berjalan dengan tegak, dia sebelum datang ke cafe, anak lelaki itu pulang terlebih dahulu untuk mengganti baju hitamnya digantikkan dengan kaos putih polos yang memperlihatkan lekukan tubuhnya yang berotot.

Sepertinya, Razell benar-benar mencolok hingga sepasang mata pengunjung cafe tidak bisa melepas pandangan darinya, terutama si pemilik cafe.

"Kirain aku, kamu tidak mau bekerja." Pemilik cafe itu tergelak, dia terkekeh kecil."Kamu sungguh tampan hari ini," dia menepuk bahu Razell lumayan kencang.

Entah itu hanyalah sebuah candaan atau memang benar, Razell hanya tersenyum tipis kepada lawan bicaranya.

"Lumayan rame ya hari ini, Kak." Razell berujar, dia menatap si pemilik cafe yang tidak terlalu jauh dari umurnya. Lelaki itu sudah cukup akrab dengan atasannya, awalnya dia terlalu kaku untuk diajak berbicara tetapi setelah 2 tahun bekerja menjadi pelayan disini, dia mulai terbiasa membalas ucapan atasannya.

"Iya, sepertinya hari ini tanggal merah, jadi banyak pengunjung yang mau santai dulu di tempat ini." Dia menuangkan bubuk kakao di atas kopi yang membuat harumnya terasa. Razell mengangguk kecil sembari tersenyum maklum, lelaki itu memakai apron cafe berwarna hitam.

"Kak Alfian. Sini aku bantu," si pemilik cafe yang bernama Alfian itu cukup terkejut, namun sedetik berikutnya ia mengangguk kecil, membiarkan Razell mengambil nampan yang tadinya berada di tangan lelaki itu.

"Kopi ini pesanan buat tiga orang yang berada di pojok dekat pintu luar itu, ya." Alfian memberitahu sembari mengulum senyuman lembut, hingga membentuk eye smile. Setelah ia memberitahukan kepada Razell, lelaki berusia 23 tahun itu kembali melakukan aktivitasnya.

Sepertinya, Razell merasakan ada yang kurang, entah kenapa hatinya merasakan sakit yang luar biasa, ia ingin menangis tapi dia tidak tau apa sebabnya.

Menggelengkan kepalanya dengan cepat, dia berjalan menuju tempat pelanggannya. Lelaki itu belum tidur dari kemaren. Setelah Caramell meninggal, dia sangat rapuh ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya.

"Terima kasih," Lelaki itu mendongak, membalas senyuman dari salah satu pelanggannya. Tetapi sesaat berikutnya, pandangan anak lelaki itu terkunci. Seketika keningnya berkerut, dia melihat seseorang yang berdiri di luar jendela memakai tudung jaket sembari menatapnya dengan tajam. Razell tidak mengetahui wajah itu, karena orang itu memakai masker sehingga sebagaian wajahnya tertutup.

".....Razell?"

"Hei. Razell!"

"E-eh ada apa Kak," lelaki itu segera menoleh, hampir saja ia terpekik, untungnya dia mempunyai sikap yang dingin, jadi jarang anak lelaki itu berteriak.

"Kamu melamun saja. Bantu kakak yuk," dengan cepat Razell mengangguk mengiyakan, walaupun ia masih tidak mengerti siapa orang tadi. Namun, setelah ia kembali menoleh, nyatanya tidak ada siapapun di luar jendela.

Menghela napas panjang, dia mengikuti Alfian dari belakang. Ah, mungkin hanya perasaanya saja. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sekali lagi, dia benar-benar sangat lelah hari ini.

"Tadi kamu kenapa melamun? Ada masalah, hm?" Alfian bertanya khawatir, dia menatap kedua mata Razell yang dibawah mata itu terdapat lingkaran hitam seperti panda.

Razell mencoba untuk tersenyum, dia menggeleng kepalanya, sedetik berikutnya ia tertawa walaupun tidak ada yang lucu." Tidak ada apa-apa Kak. Aku hanya lelah saja," elaknya, namun jawaban itu membuat Alfian tidak mudah percaya dengan hal itu.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang