13: Jangan Pergi!

62 4 0
                                    

"CARAMELL!!!!"

Gadis itu berteriak kencang sembari menangis hebat dengan keadaannya yang sekarang menjadi rapuh. Setengah berlari, mengejar sahabatnya yang ingin dipindahkan ke ruangan IGD tanpa memperdulikan keadaan di sekitarnya.

Mischa dan Razell dibelakangnya, mereka berdua hanya bisa mengejar sembari sesekali menyerukan nama gadis itu. Mischa juga panik, setelah mendengar bahwa Caramell mengidap penyakit kanker otak stadium 4. Sedari tadi, Pelangi menangis tanpa henti, gadis itu kelihatan sangat frustasi.

Sekarang mereka bertiga, sudah berada di depan ruangan IGD. Caramell sudah dimasukkan ke dalam ruangan itu.

"Sayang, tenang dulu ya. Tante juga khawatir!" Mischa mencoba menenangkan keponakanya itu, ia memeluk Pelangi sembari terisak tanpa suara."Tante...tante juga takut..."

"GIMANA AKU BISA TENANG TANTE!! SEDANGKAN CARAMELL SEDANG MELAWAN MAUTNYA!!" Pelangi berteriak lantang, membuat Mischa dan Razell sempat tertegun. Walaupun Pelangi sangat manja, tetapi kalau ada yang menyangkut dengan sahabat kecilnya, ia sangat frustasi. Razell yang melihat Pelangi berteriak di depan Mischa seketika matanya berubah menjadi merah, tangannya terkepal kuat, kemudian lelaki itu menghampiri Pelangi.

"Jaga nada bicara lo itu!" Dinginnya dengan mata yang menatap Pelangi dengan tajam. Namun Pelangi menghiraukan Razell, ia terus menangis dengan tubuhnya yang sudah mulai gemetar. Mischa memegang kedua bahu Pelangi, kemudian ia menarik tubuh kecil itu, menangis bersama dengan gadis yang sudah sangat tegar menjalani kehidupannya.

Mischa tau, selama Pelangi ditinggal dengan ibunya, gadis itu sangat kesepian. Apalagi Nathan, ayah kandung dari gadis itu, sudah tidak lagi memperdulikan anak kandungnya sendiri.

"Kamu harus kuat, Pelangi. Apapun yang terjadi nanti." ucap Mischa yang terdengar seperti bisikkan. Setelah Mischa mengucapkan itu, seketika hati Pelangi sakit luar biasa.

"Tante, Caramell pasti selamat kan? Pasti operasinya lancar kan? Iya kan, Tante?" Tanya Pelangi yang mencoba untuk tetap bertahan walaupun suaranya terdengar sangat pilu. Mischa melepaskan pelukannya, menatap kedua mata Pelangi yang sudah basah dengan tatapan sendu. Kemudian perempuan itu mengangguk ragu sembari tersenyum miris, menggenggam tangan Pelangi dengan erat.

"Kamu harus yakin Pelangi, kalau Caramell akan bisa melewati masa operasinya. Tante yakin kok, kan ada Om Jun yang membantu perawat lainnya di dalam ruangan itu." Pelangi mengangguk lesu, kemudian gadis itu menunduk, menatap lurus ke bawah akan tetapi pikirannya sedang kosong.

ー●●ー

"Kamu harus bertahan sayang, jangan tinggalkan Papa."

Jun ada di dalam ruang operasi, pria itu ikut membantu perawat lainnya untuk melakukan operasi. Dia bisa melakukan ini karena Jun adalah seorang dokter tercerdas di Tokyo.

"Dokter! Oksigennya semakin menurun!"

"Pasangkan masker oksigennya! Cepat!" Tegas Jun dibalik maskernya. Suasana ruangan ini sungguh mencekam. Keringat dingin mengucur deras melewati pelipis pria itu, tangannya yang memegang Scalpel sempat bergetar.

"Tetaplah bertahan anakku." Jun menintikkan air matanya, suaranya terdengar sangat lirih.

"Dokter! Detak jantungnya semakin melemah."

"Segera lakukan CPR!!"

Namun sebelum melakukan CPR semuanya sudah terlambat, hari itu, Caramell Anastasia, gadis dengan segala penderitaannya ia pendam, berada di alam dunia untuk yang terakhir kalinya.

Jun tercekat, ia membeku di tempat, memandangi wajah anaknya dengan tatapan tidak menyangka. Barang yang sempat dipegangnya terjatuh ke lantai hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Kemudian lelaki itu menghampiri Caramell dengan kaki gemetar.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang