5: Diancam

114 6 0
                                    

Sudah lama tidak berkunjung mungkin terasa asing dengan rumah sebesar ini, rumah yang selalu bermain bersama Sang sahabat saat kecil, namun itu sudah berlasung lama sehingga Pelangi menjadi ragu untuk masuk.

Gadis itu dan Caramell tidak pernah bertemu sejak Mamanya Pelangi meninggal karena penyakit hati, dalam artian sudah 10 tahun mereka berdua jarang bertemu langsung, hanya lewat vidio call, itupun kalau Caramell mempunyai waktu senggang, menjadi dokter itu susah berbagi waktu dengan kegiatan lainnya.

Di dalam rumah itu masih sama seperti dulu, dari warna catnya yang berwarna putih polos, vas bunga yang masih berada di atas meja dekat tembok, serta tata letak ruang masih tetap sama dengan yang dulu, tidak ada yang berubah dalam segi apapun.

"Sebenarnya aku sengaja gak ganti dekorasi rumah ini. Biar aku selalu ingat sama kamu Pelangi," suara lembut itu membuat Pelangi tersadar dari lamunannya, gadis berkulit itu pun menoleh ke arah Caramell, membalas senyuman lebar dari sahabatnya. Caramell tertawa tanpa suara, merangkul pundak Pelangi sampai lantai dua.

Kini mereka berdua ada di dalam kamar Sang dokter, bisa dibilang kamar ini sungguh luas, terdapat beberapa piala yang terjejer rapih, Pelangi yang melihat itu merasa iri dengan sahabatnya, kapan dia bisa membanggakkan ayahnya dengan piala? Tapi, mengingat kejadian kemarin, mentalnya tergeser untuk tidak mau lagi mencampuri urusan ayahnya.

"Kamu masih ingat Pelangi? Dulu kita pernah diledekkin sama anak cowok kalo kita anak culun, karena kita berdua selalu bermain boneka kelinci terus."

Pelangi terperangah kecil, membalikkan badannya kemudian menjadi kikuk ketika Caramell sedang mengambil boneka kelinci di dalam lemari, sebenarnya ini terdengar aneh, tapi percayalah, gadis itu sungguh canggung setelah kepergok oleh sahabatnya bahwa sedari tadi dia hanya melamun memandangi satu persatu piala Caramell.

"Bengong lagi kan,"

"Hah...?" Untuk yang kedua kalinya Pelangi terkejut setengah mati, kali ini dia nyaris terjungkal ketika mendapatkan tepukkan pelan di pundaknya. Caramell yang melihat wajah kaget Pelangi lantas tergelak, memegang perutnya yang terasa keram.

"Huh." Pelangi bersunggut kesal, mengelus dadanya yang berdebar, efek dari terkejut. Demi apapun, kalau Caramell itu bukan sahabatnya, tidak segan-segan Pelangi menendang Caramell sampai ke prancis. Tapi, oh tidakㅡ dia masih punya hati nurani kok. "Jaket punyaku tadi dimana Caramell?"

Pergerakkan tangan Caramell yang ingin merapikan sprei kasur terhenti, mengangkat kepalanya kemudian dia mencoba untuk mengingat-ingat, dan di detik berikutnya ia lantas tersadar, menegakkan pungunggnya sehingga berhadapan langsung dengan Pelangi.

"Lagi dicuci sama Mama. Ada apa memangnya? Kamu membutuhkan untuk sekarang?"  Tanyanya, menaikkan kedua alisnya bersamaan. Sontak Pelangi menggeleng cepat, tersenyum dengan masam sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam, memandangi kakinya yang sedikit sudah mendingan.

"Hanㅡ"

"Caramell kamu gak kerja?!" Keduanya menoleh secara bersamaan ke arah pintu, Memandangi Mischa yang tengah menyembulkan kepalanya dari luar, menatap Caramell dan Pelangi bergantian.

Tersadar, Caramell terpekik pelan. "Oh iya, ada waktu operasi, ya? Iya, Ma. Aku siap-siap sekarang juga." Caramell tersenyum tipis setelah menolehkan kepalanya lagi, dan pemandangan yang pertama ia lihat adalah Pelangi sedang menunduk dengan lesuh, merajutkan pipi gembulnya. "Ada apa, Pelangi?" Tanyanya lembut. Pelangi mendongak, lantas menggeleng, memutar bola matanya kesana kemari asalkan tidak langsung berkontak mata dengan Caramell, seberusaha mungkin dia menaha sesak di dadanya.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang