37: Keinginan

20 2 0
                                    

Arkan masih terkejut dengan ucapan Kang Daniel barusan, kedua netra matanya sempat melebar selama beberapa saat, mobilnya mengerem begitu saja yang membuat Daniel terperanjat mendadak dengan jantungnya yang bergemuruh hebat.

Masih dengan nafasnya yang tidak beratur, Daniel menolehkan kepalanya kesal, memandangi Arkan dengan keningnya yang berkerut. "Kamu kenapa kaget? Apa ada yang salah sama ucapan om, barusan?" Tanyanya heran.

Sesaat berikutnya, Arkan menggeleng cepat, pandangannya tetap terfokuskan kepada mobil yang di depannya yang semakin lama menjauh. "Baik Om, aku ikutin mobil itu." Dengan segera, lelaki itu melajukan mobilnya, mengejar mobil kakak perempuannya Daniel yang sempat tertinggal jauh. "Apakah pria tadi suaminya?" Pertanyaan sensitif membuat Daniel terdiam seketika, kedua ujung matanya sudah berair menahan bendungan air matanya. Sebenarnya Daniel tidak mau memberitahukan identitas keluarganya kepada orang yang baru dikenalnya, tetapi, ㅡah.

"Iya, dia suaminya. Tolong jaga rahasia ini dari siapapun, termasuk Pelangi, kalau gadis itu sampai tau kalau kita berdua mengikuti mobil pembunuhnya, nyawa Pelangi yang akan terancam!" Suaranya terdengar dingin dan serius, pria itu menggertakkan gigi diam-diam. Sementara si lawan bicaranya tampak terlihat bingung, setelah mendengar kata pembunuh diperingatan Daniel.

"Maksud om? Pembunuh?" Arkan menoleh sekilas, kedua tangannya tetap sibuk mengatur kecepatan mobilnya.

Daniel terdiam sejenak, merasakan ragu untuk menjawab pertanyaan Arkan barusan, otaknya berpikir keras memikirkan apakah tidak salah kalau dia memberitahukan semua ini kepada Arkan.

Jujur sebenarnya, Daniel juga baru mengetahui tentang ini saat kemarin Jun meneleponnya dan merancang alur permainan kakak iparnya, awalnya dia tidak percaya, menganggap bahwa ini hanya lelucon saja, tetapi keyakinannya runtuh begitu saja ketika pria itu melihat gambar yang telah dikirim oleh Jun lewat chat pribadi membuatnya terkejut setengah mati, hatinya sakit setelah informasi itu memang fakta.

Setelah berpikir dengan keras, akhirnya pria itu menghela napas panjangnya, menyenderkan punggung lebarnya dengan kedua matanya yang mulai menyipit setelah air mata itu lolos begitu saja. "Kalau kamu tidak memberitahukan kepada siapapun tentang hal ini termasuk Pelangi dan Razell aku akan sangat berterima kasih kepada kamu, tapi kalau kamu tidak mㅡ"

"Iya om, aku janji tidak memberitahukannya kepada siapapun, tapi apakah Om tidak bertindak dan melaporkannya kepada pihak hukum? Sejujurnya aku takut jika pembunuh itu semakin bertindak kasar kepada kakak perempuan om" Arkan menyela kalimat Daniel barusan, mengucapkannya dengan kalem, tetap menunggu balasan ucapannya dari Daniel.

Memijit pangkal hidungnya, Daniel mendecak, merasakan pusing di kepalanya. "Tidak semudah yang kamu kira, Arkan. Pembunuh itu memainkan permainannya dengan sangat licik dan curang. Walaupun kita juga memainkannya tapi dialah yang memiliki permainan itu, hanya dia yang menguasai semuanya. Hanya ada satu cara untuk memenangkan permainan itu tapiㅡ"

Ckitttt!!!

Untuk yang ketiga kalinya kalimat Daniel terpotong. Mobil Arkan mendadak berhenti membuat suara decitan terdengar walaupun dari luar. Reaksi wajah mereka berdua berubah, setelah melihat mobil yang diikutinya berhenti di tempat yang sepi. Risma ditarik paksa oleh suaminya untuk memasuki rumah kosong yang sama sekali Risma tidak tau tempat apa disini, perempuan cantik itu merintih ketika pergelangan tangannya berubah menjadi memerah, saking kuatnya cekalan itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Arkan yang melihatnya tidak tinggal diam, dia melepaskan sabuk pengaman mobil dengan tergesa lantas membuka pintu mobilnya akan tetapi pergerakkannya tertahan oleh suara Daniel yang menyeruak dengan tiba-tiba.

"Jangan ikut campur, Arkan. Biar aku saja yang memasuki rumah kosong itu, kamu tunggu disini saja, jangan pernah menelepon polisi sebelum tiga jam berlalu kalau aku tidak pernah keluar dari rumah itu" Pria berwajah tampan itu mengintruksi, auranya sungguh kuat, urat-uratnya menonjol bahwa dia sedang menahan amarahnya. Arkan sempat tercekat, kepalanya menggeleng tidak setuju. Coba kalian pikirkan, kalau hanya Daniel saja yang melawan pria tadi seorang diri apakah Daniel sanggup? Apalagi sekarang beberapa anak buahnya yang berbadan besar terlihat tengah menjaga di sisi-sisi rumah kosong tadi.

Memori disaat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang