TR 12

673 40 6
                                    

Rio's side ya gaes. .

.
.
.
***

Hari ini adalah hari jumat, dimana istri gue akan melangsungkan seminar proposalnya. Gue akui, dia lebih unggul dalam bidang akademik. Dia selalu memacu diri untuk terus maju apalagi untuk pendidikan. Dan gue bangga menjadi suami nya.

Pagi ini sudah disibukkan dengan persiapan nya, gue turut andil dalam membantu mempersiapkan berkas-berkas yang akan dibawanya nanti. Seminar nya dimulai jam dua siang, setelah sholat jumat.

"Kamu berangkat aja Yo, nanti aku di jemput Agni kok. Kita ketemu di kampus siang nanti". Kata nya setelah selesai sarapan. Gue mangangguk patuh dan mengambil ransel yang tertelak di ruang tamu.

"Kalau ada apa-apa kabari aku ya! Kalau ada yang mau di beli, bilang aja. Nanti aku bawain".

" Iya sayang. Semangat mengajar nya Pak Guru". Gue tersenyum manis dan melepaskan ciuman di bibir ranum nya. Ah, bahagia nya jadi gue.

***

Sesampainya di sekolah, bel masuk sudah berbunyi. Gue ada kelas hari ini sampai jam ke empat. Guru pamong gue gak masuk di karenakan beliau ada acara seminar di luar kota. Jadilah gue yang masuk untuk hari ini.

Sudah empat bulan gue melaksanakan PLK di sekolah, aturannya sudah selesai. Cuma karena pamong gue ada urusan aja, makanya beliau meminta gue untuk mengganti kan nya. Hanya untuk hari ini.

"Wahh ada Pak Rio nih!".

" Asik, belajar dengan Pak Rio lagi!". Sekelumit kebahagiaan yang gue rasakan ketika menginjakkan kaki dikelas ini.

Gue tersenyum menanggapi mereka "gimana kabar ananda semua?".

"Baik Pak!!".

" Wahh alhamdulillah. Berarti kita bisa mulai belajar hari ini ya".

"Kok bapak ngajar lagi, Pak? Bukannya masa PLK bapak udah selesai ya?". Tanya salah seorang murid gue.

"Bapak menggantikan Ibu Vella hari ini, beliau sedang ada seminar di luar kota". Mereka mengangguk paham dengan penjelasan gue. Karena tak ingin membuang waktu, akhirnya jam pelajaran pertama pun dimulai.

***

Setelah istirahat usai, gue berpamitan kepada guru-guru untuk pergi ke kampus. Padahal masih jam sepuluh dan gue udah gak sabar mau bantuin Ify, meskipun gue tau dia pasti udah dibantuin sama sohib-sohibnya.

"Rio". Sebelum gue masuk mobil, suara Sandra menginterupsi.

"Kenapa, San?". Gue mengingat kejadian terakhir antara kami bertiga. Gue-ify dan Sandra. Ify tidak menyukai perempuan ini.

"Kamu mau kemana?".

"Ke kampus. Kamu ngapain disini?".

"Aku mau penelitian. Buru-buru banget kamu".

"Istri ku mau seminar proposal, jadi aku mau bantuin dia". Sandra hanya diam tanpa ekspresi.

"Kalau begitu, aku duluan ya! Semangat penelitian". Pamit gue. Dari dalam mobil gue bisa melihat raut wajah Sandra yang keruh. Bukannya gue gak tau kalau dia menaruh rasa kepada gue. Sudah banyak temen-temen PLK yang mengatakan demikian. Seperti nya Sandra belum mau berdamai dengan keadaan.

Tak ingin memusingkan perihal Sandra, gue melajukan mobil menuju kampus. Gue mending nomor Ify, menanyakan apakah dia butuh sesuatu untuk di beli.

"Assalamu'alaikum Yo".

" Waalaikumsalam, Fy. Udah di kampus?".

"Masih di rumah sih. Kenapa? Kamu udah di kampus ya?".

"Belum. Ini mau jalan ke kampus. Aku pulang ya! Kamu mau dibelikan apa?".

"Enggak ada deh kayaknya. Snack aku juga udah di handle Shilla--".

"Buah gimana?".

"Gak perlu lah. Kamu pulang aja, Hati-hati dijalan sayang".

"Iya, assalamu'alaikum".

Begitulah Ify, jarang meminta sesuatu padahal udah gue tawarkan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak meminta, menurut gue.

Pernah waktu itu ketika kami berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, gue melihat Ify sedang menatap sebuah rantai kalung yang sangat indah. Gue menanyakan apakah dia ingin memiliki kalung tersebut, tapi Jawaban nya adalah tidak. Padahal harga nya masih di bawah  gaji gue. Tapi Ify memilih untuk tidak memiliki nya. Dia bilang, uang tersebut masih bisa di alokasi kan untuk hal yang lebih penting lagi.

Gue merasa terharu sebagai suami nya. Ify memang tak banyak neko-neko. Hari berikutnya, gue menghadiahkan nya kalung tersebut. Kalung yang berukir nama nya sendiri. Ify. Gue memberikan kalung tersebut karena gue ingin memanjakan nya dari segi finansial.

Kalian tau apa respon Ify ketika gue memberikan hadiah tersebut? Dia langsung menerjang gue, mencubit perut gue saking gemasnya karena permintaan dia itu tidak penting menurut nya. Padahal menurut gue, itu penting. Apalagi untuk seorang suami. Alhasil, dia memberikan gue ciuman terpanas sebagai rasa terimakasih.

Gue tersenyum mengingat hal kecil namun manis itu. Gue berharap kebahagiaan kami terus mengalir ditambah lagi akan hadirnya calon buah hati gue dan Ify. Jadi gak sabar untuk melihat janin kami.

***

Sesampainya di rumah, gue membantu Ify membawakan berkas-berkas seminarnya. Hanya tiga map berisikan proposal dan laptop saja. Kami bertolak menuju kampus saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang.

"Nanti kamu sholat jumat nya di kampus aja ya, Yo". Kata Ify.

"Iya sayang. Kamu juga harus makan dulu sebelum masuk ruangan seminar".

"Aku gak mood makan, Yo. Enggak tau kenapa". Gue mendelik tak suka dengan kebiasaan nya itu.

" Kamu harus makan! Nanti pusing jadi gak bisa konsentrasi gimana?". Dia menghela nafas panjang sembari mengusap perutnya yang sedikit membuncit.

"Aku cemas Yo. Takut nanti gak lulus seminar". Liriknya pelan. Gue tersenyum menenangkan dirinya.

"Berdoa ya! Kamu kan mau berusaha juga. Lakukan yang terbaik". Kata gue. Ify membalas senyum gue dengan manis.

***

Ify's side ya gaes..
.
.
.

**

Gila parah! Udah hampir jam dua siang dan dosen pembahas gue udah dateng. Tinggal menunggu Om Dewa yang lagi on the way dari kantor rektorat.

Peserta seminar juga udah banyak yang datang. Gue semakin mules, sepertinya kecambah kesayangan gue tau kalau mama nya sedang parno. Dia bergerak gelisah didalam saja.

"Lo oke Fy? Muka lo pucet banget". Kata Agni panik. Gue menggeleng pelan. Rio sedang keluar membeli minuman dingin untuk gue.

"Dia gerak-gerak didalam sini. Kayaknya tau deh kalau gue lagi panik". Agni mendengus di ikuti Shilla dan Via.

"Ya iyalah bego! Lo kan emak nya! Jangan panik nanti lo lahiran duluan, mau?". Shilla memukul Agni dengan bringas. Gue menggeleng tak tau harus merepson apa.

" Mulut lo anjir! Filter dulu kek, lo bukannya nenangin malah bikin ambyar aja". Kata nya. Praktis gue tertawa melihat raut wajah Agni yang kesal.

"Udah gak usah berantem!". Lerai Via. Ketika pintu terbuka, ada Om dewa yang datang menenteng tas hitam nya.

"Susah siap, Ify?". Gue menghela nafas pendek dan mengangguk pasti. Tepat saat itu, Rio pun memasuki ruang sidang seminar.

Om Dewa memanggil Pak Gavin dan Pak Megan selalu dosen pembahas gue karena seminar akan dimulai.

Dari bangku peserta seminar, gue melihat Rio yang tersenyum manis memberikan gue semangat. Gue hanya mengangguk sekilas.

Satu setengah jam kedepan adalah waktu yang gue perjuangkan untuk masa depan.

***



Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang