TR 6

954 49 14
                                    

Ify's side..

.
.

Sore nya gue pulang ke rumah. Gue membersihkan diri selagi Rio belum pulang. Tumben dia belum nyampe rumah sore ini, biasanya dia pulang duluan daripada gue. Apa dia ke kampus pas gue udah jalan pulang ya?

Tak memusingkan hal tersebut, gue memilih ke dapur memanaskan makanan yang sudah gue masak tadi pagi untuk makan malam kami. Seketika gue teringat saat gue dan Rio belum menikah dulu. Kami dekat tapi tak sampai berujung pacaran. Hanya saling menjaga satu sama lain. Tapi menjaga yang di maksud adalah membuat gue sedih sendiri.

Waktu itu gue mikir nya tanpa hubungan resmi pun, kami akan tetap bisa bersama. setidaknya menjaga hati masing-masing. Tapi nyatanya, gue dan Rio pernah berselisih paham hingga akhirnya kami menjauh. Lebih tepatnya gue.

Kalau diingat lagi, lucu juga. Gue selalu mencoba tegar kala itu tapi ego terus saja mengusik. Rio pernah tidak memberikan kabar sama sekali dan gue dengan gengsi yang terlalu membumbung tinggi, enggan menyapa kabarnya duluan. Bagi gue, sekalipun emansipasi wanita, tetap saja harus laki-laki yang menyapa duluan. Itu dulu ya, ketika gue masih labil. Sekarang pun masih. Hehehe.

Hati gue terlalu keras untuk bersikap malu-malu. Gue tipe perempuan yang serampangan dan terlalu vokal dalam berbicara. Gak heran kalau gue bisa mendominasi, termasuk soal perasaan. Meskipun gue selalu di ajarkan oleh Cece Via untuk kalem, tapi gue tetep gak bisa kalem. Entah kenapa, gue bisa aja gitu bersikap barbar kalau Rio gak ada ngehubungin gue.

"Assalamu'alaikum". Gue tersentak saat suara Rio menggema di ruang tamu. Gue menyongsong kedatangannya dengan senyum lebar.

Gue mencium punggung tangannya dan mengambil tas yang ia bawa ketika PLK.

"Tumben pulangnya lama?". Tanya gue.

"Tadi ada kerjaan sedikit dari pamong aku. Ya udah aku kerjakan dulu". Gue mengangguk paham

"Aku kira kamu ke kampus dulu".

"Ngapain?".

"Ya mana aku tau. Kan aku bukan sekretaris kamu di BEM". Kata gue santai lalu beranjak ke kamar meletakkan tas nya. Rio mengikuti gue dan menarik pinggang gue.

"Apa sih?". Dia malah tertawa renyah mencium pipi gue.

"Kamu kenapa? Kok jutek gitu?".

"Aku gak jutek. Emang jawaban ku begitu kan? Aku mana tau jadwal kamu ngapain aja di BEM". Kata gue lagi. Heran, gue kenapa deh.

Rio mengangguk dan melepaskan gue. Dia beralih ke kamar mandi.  Setelah dia selesai, gue pun membawa nya makan malam. Gue tau pasti Rio laper banget.

Tiba-tiba ponsel gue berdering panjang. Id Call Bunda terpampang disana.

"Hallo, assalamu'alaikum bunda!".

"Waalaikumsalam, Fy. Kamu lagi dimana nak?".

"Dirumah sama Rio, Bun. Ada apa bun?".

"Kalian gak lupa kan kalau Bang Abraham mau menikah awal bulan depan?". Gue mengeryit bingung dengan informasi yang bunda berikan. Praktis gue melihat kalender yang ada di dekat ruang makan.

Ternyata benar, tanggal 10 September Bang Abraham, abang sepupu gue akan menikah. Gue lupa dulu gue yang nandain tu kalender, hehehe.

"Oh iya, Bun. Inget-inget". Kata gue cepat. Ntar keburu di omelin kan gak lucu.

Gue melirik Rio yang masih setia di meja makan. " Kalian bisa pulang kan?". Nafas gue seakan tercekat mendengar pertanyaan bunda.

"Ehm, gimana ya bun--".

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang