"Nuca, besok aku mau check up karena kata dokter bulan depan aku bisa operasi," ucapku pada Nuca yang sedang meneguk minumannya di tepi lapangan basket.
Ia tak menatapku sama sekali.
"Nuc?"
"Hmm?"
"Kamu denger aku?"
"Hmm," ia berdeham, menandakan bahwa ia mendengarkanku.
"Kamu mau nemenin aku ke rumah sakit besok?"
"Walaupun aku bilang ga mau, papa aku juga bakal maksa aku."
Sudah hampir 3 tahun ia selalu memperlakukanku dengan dingin. Bahkan setelah aku menjadi kekasihnya karena perjodohan keluarga kami, ia tetap tak melihatku sebagai perempuan.
Aku sampai bertanya-tanya, kemana Nuca yang ku kenal dulu? Yang selalu ada di sampingku dan hangat padaku?
"Kenapa kamu berubah Nuc?"
"Aku ga pernah berubah. Aku cuma nunjukin sifat asli aku," ucapnya datar, hampir tak bernada.
"Aku tau ada sesuatu yang bikin kamu gini. Aku bukan orang yang baru kenal sama kamu, Nuc. Kita udah kenal selama 17 tahun, dan aku tau —"
"Jangan pernah beranggapan kamu kenal aku dengan baik," potongnya.
Aku terdiam. Mataku terasa memanas seketika. Ku rasakan air yang mulai tergenang di kedua sudut mataku.
Nuca menatap arlojinya. "Bentar lagi bel. Aku mau ke kelas."
Aku pun meraih tangannya, dengan sigap Nuca menepis.
"Jangan ngelebihin batas kamu."
Degh!
Aku mundur selangkah. Ku pegang dada kiriku yang terasa begitu sesak. Sakit sekali rasanya.
Penyakitku kambuh.
"Ini yang bikin aku benci sama kamu. Selalu ngebebani aku dengan sakit kamu yang bukan tanggung jawab aku,"
Pernyataan menyakitkan yang keluar dari mulutnya itu mampu terekam di otakku sebelum akhirnya pandanganku menjadi hitam sepenuhnya.
***
"Dasar bodoh! Kamu apain Tiara sampe bikin dia shock gitu? Kamu tau sendiri jantungnya lemah. Bisa-bisanya kamu ngebentak dia!"
Suara bising yang tertangkap oleh indra pendengaranku itu membuatku perlahan mencoba untuk membuka mata.
Seperti biasa, aku terbaring lemah di rumah sakit. Aku pun mendapatkan om Reino yang berdiri tak jauh dari ranjangku dan terlihat Nuca yang tengah menunduk tak bergeming sedikitpun.
Plak!
Om Reino menampar keras wajah Nuca, aku segera memejamkan mataku, tak berani menatap kejadian itu.
Apa Nuca selalu dipukul Ayahnya karena aku?
"Kalo sampe kamu bikin Tiara shock lagi, papa ga akan segan-segan buat ngusir kamu dari rumah."
Terdengar suara bantingan pintu, aku kembali membuka mataku dan mencoba untuk mendudukkan tubuhku di kasur.
"Nuca, kamu gapapa?" Ucapku dengan suara parau.
Nuca diam. Ia pun berjalan menuju kursi di samping tempat tidurku sembari memijit pelan dahinya.
"Maafin aku, Nuc. Maaf aku selalu ngebebanin kamu."
"Kalo kamu emang mau minta maaf, cukup dengan berhenti cinta sama aku."
Aku terdiam.
Mendengar ucapannya, aku menyadari satu hal. Selama ini aku selalu membohongi diriku sendiri dan meyakinkan diriku kalau ia akan kembali menjadi Nuca yang dulu.
Tapi sekarang aku tau, ternyata dia bukanlah Nuca yang sama dengan Nuca yang ku kenal dulu. Dia bukan lagi Nuca kecil yang pernah berjanji untuk menikahiku saat kami dewasa.
Dia orang yang berbeda.
Tatapan hangat 3 tahun yang lalu kini berubah menjadi tatapan kebencian.
***
Sudah seminggu sejak aku mencoba untuk menjauhi diri dari Nuca. Bahkan aku membiarkannya untuk menemui Lyo, kekasih Nuca yang sebenarnya. Lagipula aku dan Nuca hanya sebatas perjodohan yang hanya disetujui sepihak.
Terlihat dari kejauhan, Nuca mengacak-acak rambut Lyo. Sesuatu hal kecil yang tak akan pernah ia lakukan padaku. Aku tersenyum miris lalu kembali melahap makananku.
Entahlah, kantin ini terlihat sangat ramai, tapi rasanya begitu sepi.
"Ra, ngelamun aja."
Aku tersentak dan mendapatkan Sam yang sudah berada di hadapanku. Dia playboy cap kapak yang sangat populer di sekolah. Siapa yang tidak mengenal wajah imut tapi brengseknya ini?
"Nggak, ini lagi makan," aku menunjukkan piringku lalu kembali memandang Nuca dan Lyo dari kejauhan.
Sam ikut menatap ke arah pandanganku lalu terdiam sejenak.
"Gabung mereka yuk."
"Huh?"
"Ayok!"
Sam merebut piringku lalu menarik tanganku agar dapat mengikutinya.
Aku terkesiap saat menyadari ia berhenti di meja tepat dimana Nuca dan Lyo berada.
"Gabung yah?" Tanya Sam.
Aku menatapnya kebingungan, ia hanya memberiku isyarat untuk duduk. Aku memutar bola mataku dan dengan berat hati aku pun menurutinya.
Nuca tak menggubris kedatanganku sama sekali, ia terus menyantap makanannya dan sesekali tertawa karena ucapan Lyo.
Tiba-tiba Sam mengacak rambutku dan tentu saja hal itu membuatku terkejut. Aku segera menjauhkan kepalaku dari tangannya.
"Kenapa?" Tanyaku pada Sam.
"Gapapa. Kamu lucu soalnya," ucapnya sembari memamerkan senyuman tengilnya itu.
Baiklah. Aku mengerti, ini salah satu rayuannya yang mungkin membuat banyak gadis terpanah. Tapi tidak berlaku untukku.
Tak lama kemudian Sam pun meraih tanganku. Aku membulatkan mataku dengan sempurna. Dasar berandal gila!
"Ga liat kalo dia ga suka digituin? Lepasin," ucap Nuca datar pada Sam, namun menusuk.
Sam terkekeh pelan. "Tiara aja ga keberatan."
Nuca menatapku penuh arti, seakan bertanya apakah benar yang diucapkan oleh Sam? Aku pun hanya terdiam lalu menunduk.
"Tuh kan. Lagian, ga ada hubungan sama lo," Sam kembali meraih tanganku. Aku pun berusaha melepaskan tanganku, akan tetapi seseorang terlebih dahulu melepaskannya lalu menarikku untuk pergi meninggalkan meja.
Aku menatap punggung laki-laki yang menyeretku ini dengan tatapan tak percaya.
Nuca.
Dia membawaku pergi dari meja itu dan meninggalkan Lyo yang masih ada disana.
Jangan lupa comment dan vote yah.
Karena 1 comment dan vote kalian sangat berarti demi selesainya cerita ini
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...