"Besok pagi aku pulang ke Jakarta," ujar Sam di tengah perjalanan pulang kami menuju apartment.
"Cepet banget?"
"Iya. Ada jadwal nampil juga."
"Oh gitu," aku mengangguk.
"Kamu udah dengerin?"
"Dengerin apa?"
"Belom yah?"
Seketika aku teringat akan lagu yang Sam kirimkan padaku beberapa hari yang lalu.
"O..oh itu. Belum. Kemaren kamu kirim pas aku baru naik pesawat."
Sam pun tiba-tiba menghentikan langkahnya bersamaan dengan sampainya kami di depan gedung apartment.
"Aku anter sampe sini aja yah," ucapnya.
Aku ikut menghentikan langkahku lalu menatap wajah lesunya. Kenapa ia terlihat begitu murung? Apa aku membuat kesalahan?
"Hati-hati dijalan Sam."
Sam menatapku sejenak.
Ia mengusap kepalaku pelan.
"Makasih buat hari ini. Aku senang."
Aku tersenyum simpul.
Sam pun membalikkan tubuhnya sembari melambaikan tangan padaku, mengisyaratkan perpisahan diantara kami malam ini.
Perlahan ia menjauh dan kemudian hilang dari pandanganku.
Sampai kapan akan terus seperti ini? Membiarkannya masuk ke dalam kehidupanku tanpa membalas perasaannya?
Bukankah ini terdengar terlalu kejam untuknya?Ku hela napasku, melangkahkan kaki untuk masuk ke gedung apartment ini.
Saat memasuki elevator, aku mendapatkan pantulan diriku disana.
Sendiri.
Menyedihkan.
Seharusnya masih ada Nuca hari ini. Bersamaku.
Aku merindukannya, sangat dan teramat.
Aku ingin sekali menghabiskan waktuku lebih lama dengannya.
Nuca, kamu dimana?
Ting!
Pintu elevator kembali terbuka. Ku seret kakiku dengan begitu malas. Senyuman yang berusaha ku lukiskan seharian ini luntur seketika. Tidak bisa ku pungkiri, Nuca terus mengusikku.
Aku pun merogoh tasku untuk mencari kunci apartment.
Ceklek
Kenapa gelap sekali?
Tiba-tiba ku rasakan sebuah tangan yang menutup mataku.
"Siapa?!" Pekikku.
"Mama."
"Ih apaansih mama? Lepasin."
"Udah jangan bawel. Kamu ikut mama."
"Kemana ma?"
"Ikut aja."
"Apasih mama kok ga jelas banget?"
"Ssttt!"
Ibuku pun mengarahkan tubuhku untuk berjalan bersamanya.
Ting
Ku dengar suara pintu elevator terbuka.
"Naik lift? Mau kemana ma?"
"Haduh, ini anak banyak tanya banget yah, kayak papanya."
Aku berdecak kesal, lalu memutuskan untuk mengunci mulutku rapat-rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...