Aku hanya bisa mematung. Pikiranku rancu. Aku bahkan tidak mampu mendengar suara apapun di sekelilingku. Jika kali ini aku bermimpi, ku mohon bangunkan aku sekarang juga.
"Cieee..."
Lamunanku pun terpecahkan mendengar suara teriakan yang memenuhi gendang telingaku itu.
Bahkan saat semua orang sudah membuka mata, Nuca masih menempelkan bibirnya di keningku.Sampai akhirnya aku mendorong tubuh Nuca untuk menjauh. Aku pun segera berlari keluar kamar, meninggalkan mereka semua.
Aku hanya bingung.
Pikiranku sekarang penuh dengan berbagai macam pertanyaan 'apa maksudnya?'
Apa tujuan Nuca menciumku di depan banyak orang?
Aku mendudukkan diriku di sebuah balkon, membiarkan angin menerpa lembut helaian rambut hitam panjangku. Ku pejamkan mataku, mencoba mengusir jauh-jauh ratusan pertanyaan yang mengusikku.
Nuca, kenapa saat aku ingin menyerah, kau seakan kembali memberiku sebuah harapan?
"Ra.." panggil Nuca yang tiba-tiba ada di sebelahku.
"Nuca.." desisku.
Aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga lalu menundukkan pandanganku. Jujur saja, aku bingung harus bersikap bagaimana di depannya setelah kejadian tadi.
"Yang tadi itu.."
Aku menelan ludahku. Rasanya benar-benar canggung, bahkan untuk menatapnya saja aku tidak berani.
Namun, Nuca tak kunjung melanjutkan ucapannya. Aku yang ragu pun akhirnya memberanikan diri untuk mendongak dan menatap wajahnya.
"Lupain aja kalo itu bikin kamu ga nyaman," ucapnya tanpa melihatku.
Aku sedikit kecewa dengan perkataannya. Aku justru ingin mendengar penjelasannya kenapa ia melakukannya. Bukan malah menyuruhku untuk melupakan hal yang sudah pasti tidak bisa ku lupakan.
"Kenapa kamu kesini? Ga lanjut main sama yang lain?"
Nuca pun memperhatikan sekitar, seakan menimang-nimang harus mengatakan apa.
"Masih jam 9," Nuca menatap arlojinya.
"Iya."
"Mau cari angin?"
Apa lagi ini? Nuca mengajakku jalan-jalan? Entah angin apa yang membuatnya melakukan hal-hal tak terduga olehku hari ini.
"Kalo kamu ga mau gapapa, sebenernya aku kesini bukan niat mau ngajak kamu—"
"Aku mau," ucapku cepat memotongnya.
Nuca pun menggaruk kepalanya. "Aku tunggu di bawah," ucapnya kemudian membalikkan tubuh dan berlalu.
Aku meletakkan tanganku di dadaku, merasakan detak jantung yang sudah tidak karuan. Aku pun segera kembali ke kamar dengan begitu bersemangat.
"Ra.. Dari mana aja?"
Aku tak menggubris pertanyaan-pertanyaan mereka saat aku kembali ke kamar.
Aku mengambil pouch make up ku lalu memoleskan sedikit bedak dan liptint. Tak lupa aku menggambar alis.
"Apasih malem-malem gini dandan? Mau kemana?" Tanya Keisya.
"Sisir kamu mana?"
Keisya mengerutkan dahinya. "Itu tuh, di atas tas aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...