Part 3

4.4K 297 17
                                    


"Kita mau kemana?" Tanyaku saat menyadari jalan yang kami telusuri bukan jalan ke rumahku.

Nuca tak menjawab.

Aku pun memutuskan untuk diam dan pasrah. Jalanan ibukota malam ini begitu sepi, memberikan ruang keheningan di antara aku dan Nuca, sampai akhirnya kami berhenti di lobby rumah sakit.

"Turun," perintahnya.

"Aku baik-baik aja. Ga perlu ke rumah sakit. Aku mau pulang."

Nuca tak bergeming lalu memukul stirnya kuat. "Aku bilang turun!"

"Nuca, aku mau pulang!"

Kini mata kami beradu sengit, seakan tak ada yang ingin mengalah. Bisakah setidaknya ia berhenti meneriakku dan berhenti menyakitiku sehari saja?

Aku lelah.

Batinku benar-benar terluka.

"Kenapa kemarin kamu ga check up? " Nuca mulai menurunkan suaranya.

Aku membisu. Transplantasi jantung yang seharusnya ku jalani bulan depan ternyata tidak bisa dilakukan. Harapanku untuk sembuh pun semakin kecil. Sudah hampir seminggu aku menangisi nasib menyedihkanku ini. Apa aku harus memberitahunya dan kembali membebaninya?

"Kamu selalu gini, ngelakuin semua hal semau kamu dan mentingin diri sendiri. Kamu tau siapa yang bakal disalahin kalo kamu ga check up? Aku."

Aku termenung sejenak. Air mata mengalir begitu saja saat mendengar ucapannya. Perkataannya itu seakan menusuk sampai ke ulu hatiku. Sakit sekali.

Mengapa ia sangat kejam padaku?

"Donornya ga cocok. Aku harus nunggu lagi sampe ada pendonor yang baru, puas?" ucapku yang tak mempu menahan isak tangis.

Mendengar perkataanku, Nuca memalingkan pandangnya ke arahku tanpa suara. Ia hanya memandangku dengan diam. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Sekarang aku mau pulang," ucapku sembari menatap ke luar jendela mobil agar ia tidak melihatku menangis.

Tanpa membantah, Nuca pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit ini.

Perasaanku sangat hancur saat ini. Aku harap aku bisa mengakhiri rasa cintaku ini padanya.
Aku ingin sekali membencinya.
Tetapi mengapa untuk melupakannya tidak semudah aku mencintainya?
Mengapa sulit sekali untuk tidak mencintainya?

***

"Tiara? Papa tadi telpon ga diangkat," ucap ayahku yang yang sudah menunggu kepulanganku di ambang pintu.

"Mama khawatir banget Ra, kamu ini kebiasaan ga ngangkat telpon," ibuku pun segera menghampiriku.

Sementara Nuca hanya berdiri tanpa menyapa.

"Nuca, kamu kenapa basah kuyup gini? Keujanan?"

Nuca yang menyadari bajunya yang basah pun kemudian melirikku.
"Iya, Om."

"Yaudah kamu duduk dulu, nanti tante siapin baju yang kering yah, nanti kamu sakit."

"Ga—"

"Gausah, Ma. Nuca mau langsung pulang," potongku.

Nuca memandangku, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ku ucapkan.

Untuk sekarang, yang ku pikirkan adalah aku hanya tidak ingin membebaninya lagi.

"Ra, kok kamu gitu sama Nuca."

"Lagian udah malem, besok mau sekolah."

"Kamu ini yah, dia ini calon kamu, kasar banget. Nuca kamu nginep disini aja yah, liat tuh diluar ujan deres banget, udah malem, ntar kenapa-napa lagi," ibuku menarik lengan Nuca untuk masuk ke dalam rumah.

"Ma!" Teriakku.

Nuca hanya pasrah tanpa membantah.

Aku memutar bola mataku lalu melangkahkan kakiku ke dalam rumah.

***

"Ra, anter ini ke kamar Nuca," ibuku menyerahkan sebuah nampan yang berisikan segelas susu coklat hangat kesukaannya.

"Suruh bi Nena aja, ma."

"Udah pokoknya kamu anter ini."

Dengan malas, aku menuruti kemauan ibuku. Bukannya aku tidak menyukainya, aku sangat menyukai Nuca, bahkan hanya dengan melihatnya dari jauh saja sudah membuatku senang.

Tapi, aku sedih. Aku sedih saat melihat Nuca menjalani hidupnya hanya untuk menuruti gadis berpenyakitan sepertiku.

Tok..tok

"Nuca?" Panggilku.

Tak ada jawaban.

Tok..tok

Aku kembali mengetuk pintu, namun masih tak ada sautan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk memasuki kamarnya yang sebenarnya adalah kamar tamu itu.

Terlihat Nuca yang sudah tertidur pulas. Aku pun menaruh susu coklatnya di atas buffet yang terletak di samping kasurnya.

Aku terdiam sejenak lalu memandang wajah pemarahnya yang terlihat begitu damai sekarang. Perasaan bersalahku padanya semakin besar. Haruskah aku meminta kedua orangtuaku membatalkan perjodohan ini?

Aku mengernyitkan dahiku saat melihat raut wajah Nuca yang terlihat seperti menggigil.

Ku tempelkan tanganku di dahinya. Mataku membuka lebar saat mendapatkan suhu tubuhnya yang sangat panas.

"Nuc, kamu demam," desisku yang begitu panik dan segera belari ke dapur untuk mengambil obat dan beberapa potong es untuk mengompresnya.

Ku raih wajah Nuca untuk memastikan kembali suhuya. Aku pun menaruh handuk yang sudah ku rendam es di keningnya.

Nuca terus menggigil, tangannya bergetar hebat. Ku raih tangannya lalu menggenggamnya erat.

"Maafin aku," ucapku berulang.

Ku pejamkan mataku, berusaha untuk menahan tangis, namun air mata itu terus saja mengalir. Sebut saja aku cengeng karena terus menerus menangis.

Ini semua salahku.

Aku yang membuatnya menderita.

Sampai akhirnya aku merasakan sebuah tangan yang menghapus air mataku.

Sontak aku membuka mataku dan mendapatkan Nuca yang kini menatapku lemah.

"Kenapa nangis?"

Jangan lupa comment dan vote yah.
Karena 1 comment dan vote kalian sangat berarti demi selesainya cerita ini

Unlove you Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang