Part 33

3.3K 406 82
                                    

"Enak ga?" Tanyaku pada Nuca yang baru saja menggigit muffin buatanku.

"Enak." Nuca pun menyuapiku.

"Ihhh, iya enak!! Tumben banget berhasil. Hebat juga yah aku, udah cantik jago masak. Idaman banget ga Nuc?"

"Iya."

Aku berdecak. "Kok kayak ga ikhlas gitu sih?"

"Kan aku jawab iya Ra?"

"Ya, tapi nadanya kayak ga ikhlas."

"Aku kan kalo ngomong emang gini Ra."

"Aku ngambek nih!" Ancamku.

"Ya tuhan, salah terus emang aku."

"Jawab yang lebih ikhlas dong."

"Iya sayang."

Aku terkekeh pelan lalu meraih gelas yang terletak tak jauh dariku untuk menuangkan segelas air.

Sebelum aku meneguk habis air yang ada di dalamnya, Nuca pun merampas gelas itu dariku.

"Tadi kamu minum di sebelah mana?" Tanyanya.

"Apaansih? Cepet balikin. Orang belum selesai minum."

"Sebelah mana?" Tanyanya lagi.

"Di situ," tunjukku.

Segera Nuca meminum habis isi gelas itu dari bekas minumku.
"Siapa tau kamu jadi Aisyah aku."

Saat otakku mengerti apa yang ia maksud, aku pun tersenyum hangat
"Hehe. Semoga yah Nuc."

Ku alihkan pandanganku ke luar jendela sesaat mendengar buliran hujan mulai turun membasahi bumi.

Kau tau? Hujan memiliki arti yang berbeda bagi setiap manusia.

Percaya atau tidak, saat hujan turun, ada satu nama yang terlintas di otakmu. Kemudian kau akan memikirkannya, mengenang memori saat kau bersamanya sampai akhirnya kau tersadar, ia sudah tak bersamamu.

Kadang hujan turun hanya untuk memaksamu mengingat kembali memori bersama seseorang yang pernah singgah padamu, seseorang yang kini telah berteduh bersama yang lain.

Namun, percaya atau tidak, hujan akan terasa romantis jika kau menikmatinya dengan orang yang kau cintai.

"Deres banget hujan di luar Nuc," ucapku membuat Nuca ikut menatap ke luar jendela.

"Iya."

"Kamu suka hujan?" Tanyaku.

"Ga."

"Kenapa?"

"Aku suka kamu."

Aku memicingkan mataku. Sejak kapan lelaki es ini menjadi penggombal ulung?

"Tapi aku suka hujan," aku menjulurkan lidahku.

"Kamu liat, di luar hujannya deres."

"Terus?" Aku mengerutkan dahiku.

"Hujannya deres. Kayak cinta kita, deres!"

"Apaansih?" Aku terkekeh pelan sampai akhirnya senyuman itu perlahan luntur saat aku mulai menyadari sesuatu.

Sederas-derasnya hujan, bukankah pasti akan reda?

Aku menatap Nuca kosong. Ku harap ia tidak mengatakan itu. Jika memang benar begitu, ku harap hujan yang ia maksud adalah badai. Badai yang tak kunjung berhenti.

Unlove you Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang