Part 20

4.5K 382 116
                                    

"Dasar bodoh! Kenapa masih nunggu disini? Gimana kalo aku ga dateng?!" Ucap laki-laki itu setengah berteriak untuk menandingi suara derasnya hujan.

Nuca.

Aku termenung sejenak menatapnya.

Apa aku sedang bermimpi?

Ataukah aku sedang berhalusinasi?

"Cuma orang bodoh yang mau nunggu berjam-jam tanpa kepastian. Kamu bodoh? Hah?! Gimana kalo aku ga dateng terus kamu pingsan karena kedinginan?! Gimana kalo ga ada yang nolongin kamu?! Gimana kalo malah ada orang jahat yang nemuin kamu sebelum aku?!"

Bahkan disaat seperti ini ia tetap memarahiku.

Sesaat kemudian aku berdiri untuk menyamakan tubuhku dengannya.

"Selalu gini, nyusahin aku!" Nuca menatapku dengan penuh amarah.

"Tapi nyatanya.. kamu dateng," ucapku lirih.

Segera ku peluk erat tubuh kekarnya, tak memperdulikan ia yang terus memarahiku. Aku hanya ingin menumpahkan kerinduan mendalam yang selama ini ku pendam. Aku benar-benar merindukannya, tidak pernah sedetikpun aku lewatkan tanpa memikirkannya.

Aku pikir dia tidak akan datang.
Aku pikir dia tidak ingin bertemu denganku lagi.
Aku pikir semuanya benar-benar berakhir.

Tapi melihatnya datang malam ini membuatku berpikir adanya harapan untuk kami memperbaiki semuanya.

"Aku nunggu lama, kenapa kamu baru dateng?" Ucapku disela tangisanku yang mulai membasahi jas yang ia kenakan. "Aku rindu kamu."

"Kamu pikir cuma kamu?! Kamu ga tau seberapa tersiksanya aku nahan hati buat ga peduli sama kamu?!"

Aku diam.

"Aku rindu sama kamu sampe rasanya aku bisa gila Ra," Nuca mengecilkan suaranya.

Aku melonggarkan pelukanku untuk menatap mata Nuca. Sorot matanya terlihat begitu sendu. Ku lihat matanya yang mulai memerah.

"Kenapa kamu ga pernah berhenti bikin aku khawatir Ra?"

Sesaat kemudian aku merasakan sebuah tangan yang membalas pelukanku, memelukku tak kalah erat.

Entah mengapa tangisku semakin pecah saat Nuca memelukku begitu erat. Tuhan, ku mohon, bisakah aku terus bersamanya seperti ini? Aku tidak ingin kembali kehilangannya.

"Maafin aku," desisnya.

Hanya ada suara hujan yang menjadi saksi bisu apa yang terjadi di antara aku dan Nuca malam ini.

Hujan seakan memberi kami ruang untuk saling melepas rindu.

Nuca pun mengusap belakang kepalaku berkali-kali.

"Kenapa aku bisa sejatuh ini sama manusia keras kepala kayak kamu," gumamnya yang samar-samar terdengar oleh indra pendengaranku.

Nuca pun melepaskan pelukanku. "Pegang bentar," ucapnya menyodorkan payungnya kepadaku.

Aku pun meraih payung itu. Nuca melepaskan jas yang ia pakai lalu mengenakannya pada tubuhku.

"Kita pulang."

Seperti biasa, ia memayungiku tanpa memperdulikan dirinya sendiri yang terkena hujan. Ia masih melakukan hal itu padaku.

Aku pun mendekap tubuhnya agar ia juga tidak terkena hujan.

"Aku rindu," desisku.

"Aku lebih," Nuca pun melingkarkan lengannya pada tubuhku, memberiku kehangatan.

Unlove you Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang