Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Nuca pun diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Hari ini aku, Nuca dan kedua orangtuaku pun pulang ke Jakarta.
Nuca masih harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Dokter mengatakan ia harus memakai tongkat setidaknya 2 bulan ke depan untuk menghindari terjadinya hambatan dalam proses penyembuhannya.
"Terus timnas kamu gimana?" Tanyaku di perjalanan pulang kami dari Bandung ke Jakarta.
"Ga usah kamu pikirin. Itu urusan aku. Lagian aku bisa daftar lagi kapanpun yang aku mau."
"Beneran? Kamu ga bohong kan? Berarti mereka mau nunggu kamu sembuh?"
Nuca hanya mengangguk.
Aku berharap ia bisa cepat pulih dan mendapatkan kesempatan itu lagi.
***
"Dah!" Aku melambaikan tanganku dari kaca mobil saat hendak kembali pergi setelah mengantarkan Nuca ke rumahnya.
Nuca pun melukiskan senyuman yang ditujukan kepadaku dan juga orangtuaku.
"Dah, om!" Aku menaikkan volume suaraku pada om Reino yang juga baru saja pulang dari Kalimantan hari ini.
Sebelum aku menutup kaca mobilku, Nuca menunjukkan jempol dan kelingkingnya yang ia dekatkan pada telinga dan bibirnya seperti tengah memberikan gambaran gagang telpon lalu menggerakkan mulutnya tanpa suara. Sepertinya ia mengatakan 'malam ini'?
Malam ini telpon?
Aku berpikir sejenak lalu terkekeh saat menyadari maksudnya. Aku pun menaikkan kaca mobilku seiring dengan melajunya mobilku dari perkarangan rumah Nuca."Ra.. kamu sering-sering liatin Nuca yah nanti," ucap ibuku.
"Iya ma, lagian dia juga gini karena aku."
"Bukan itu maksud mama, Ra. Itu.. si om Reino katanya mau nikah lagi, mama cuma takut Nuca belom bisa terima."
Aku jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat ibunya meninggal dan Nuca mengurung dirinya di kamar berhari-hari. Ia bahkan tidak ingin menemui siapapun saat itu. Kau tau apa yang ia lakukan di kamar berhari-hari? Nuca menangis sampai matanya bengkak dan tidak mampu mengeluarkan air mata lagi.
Bagaimana bisa dia menerima wanita lain sebagai ibunya?
***
Aku terus meratapi layar ponselku, menunggu telpon masuk dari Nuca dengan mata yang sedaritadi menahan kantuk. Kenapa ia belum menelponku? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Saat aku sedang mencuci muka ku di kamar mandi, aku mendengar nada dering ponselku.
"Nuca!" Gumamku, lalu segera berlari menuju ponselku yang ku letakkan di atas kasur tanpa membasuh wajahku terlebih dahulu.
Nomor yang tidak dikenal. Tanpa pikir panjang segera mengangkatnya, mungkin saja itu Nuca.
"Halo?" Aku melembutkan suaraku.
"Ra, besok kamu masuk?" Perasaan kecewa merasukiku saat mendengar suara laki-laki di seberang telpon itu bukan Nuca.
"Iya, Sam. Aku juga udah berapa kali ga masuk."
"Aku cuma mau ngasih rangkuman pelajaran kita buat UTS, Ra. Siapa tau kamu butuh."
"Oh oke, besok aku ke kelas kamu yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...