"Kenapa nangis?"
Aku membisu. Tubuhku seakan membeku seketika.
"Hati aku sakit tiap ngeliat kamu nangis."
Degh!
Ku rasakan jantungku berdegub begitu kencang. Aku menundukkan pandanganku karena wajahku dengan wajah Nuca hanya berjarak beberapa centi saat ini.
Tuhan, apa aku sedang bermimpi?
Saat aku kembali menegakkan pandanganku, Nuca sudah kembali terlelap. Aku pun segera mencubit lenganku untuk memastikan ini bukan mimpi.
Dan ternyata, yang baru saja ku alami itu nyata.
***
"Eh Nuca udah bangun. Sini sarapan dulu," ucap ibuku.
Mataku tertuju pada Nuca yang sudah lengkap dengan seragamnya yang tadi subuh diantar oleh supirnya ke rumahku.
Kejadian tadi malam masih melekat di otakku. Aku nyaris tidak bisa tertidur dengan nyenyak karenanya.
Ibuku mengoleskan selai coklat di atas roti Nuca lalu mengusap pundaknya.
"Kamu tinggi banget, ganteng lagi, pasti banyak cewek-cewek suka sama kamu."
Aku tersenyum simpul mendengar celotehan ibuku. Ibuku benar, siapa yang tidak menyukai Nuca? Kalau boleh ku bilang, Nuca adalah cinta pertama semua teman-temanku saat di Sekolah Dasar dulu.
Bahkan sampai sekarang, ia tetap menjadi sorotan dimanapun ia berpijak.
"Kamu masih juara umum di sekolah, Nuc?"
"Iya tante."
"Tuh, Ra. Liat Nuca, pinter. Belajar sama Nuca biar kamu ga dapet ranking terakhir lagi di kelas."
"Ya kan otak udang aku ini nurunnya dari mama sama papa, jadi salah siapa?"
"Kok malah nyalahin mama sama papa?"
Sekilas aku melihat Nuca yang menyunggingkan senyuman kecil sembari melahap rotinya.
Tunggu...
Apa aku tidak salah lihat? Si pemarah itu tersenyum?
"Suara kamu juga bagus banget Nuc, emang yah kamu itu menantu idaman semua ibu-ibu, pantes aja Tiara gila karena kamu."
"Maa," aku mendengus kesal.
Nuca menatapku. "Emang tante pernah denger aku nyanyi?"
"Tiap malem si Tiara muterin video kamu nyanyi di pensi SMA kalian, sampe hapal deh tante."
"Udah ma, kami berangkat dulu."
Aku pun bangkit dari kursi, memotong perbincangan mereka agar tidak terlalu jauh.
***
"Nuc, tadi malem.." aku menggantungkan kalimatku, mempertimbangkan apakah aku boleh menanyakannya.
"Hmm?"
"Semalem pas demam, aku ngompres kamu."
"Oh itu kamu? Aku bingung pas bangun tiba-tiba ada handuk di kening aku," ucapnya yang terus fokus ke jalan.
Aku terdiam.
"Kamu ga inget?"
"Apa?"
Aku tersenyum kecut. Kenapa bisa-bisanya aku mengharapkan Nuca mengingat hal semacam itu? Ia bahkan tidak sadar saat menghapus air mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...