"Relain Nuca Ra. Kalo kamu emang ga bisa bikin dia bahagia setidaknya jangan jadi beban buat dia," ucap Lyo sebelum ia pergi.
Sejak malam itu.
Nuca hilang.
Tidak ada kabar sama sekali darinya. Bahkan di sekolah aku tidak dapat bertemu dengannya. Aku mencoba menghubunginya, namun sepertinya ia memblokir nomor telponku.
Berhari-hari aku membaca pesan lamaku dengannya. Dan baru ku sadari, betapa aku begitu merindukannya.
Aku seakan harus melepas sesuatu yang bahkan belum ku genggam.
Aku menanyakan dimana keberadaannya pada om Reino, tapi om Reino mengatakan Nuca ada di rumah. Saat aku ke rumahnya, dia tidak ingin keluar menemuiku.
Seminggu berlalu, akhirnya Nuca kembali ke sekolah. Aku bertekat untuk berbicara dengannya hari ini.
"Nuc, kaki kamu udah sembuh?" Tanyaku yang berusaha menyamai langkahnya yang sudah tidak menggunakan tongkat lagi.
Nuca tak menjawab.
"Nuca, aku mau ngomong sama kamu."
Ia terus berjalan tanpa menggubris keberadaanku. Sampai akhirnya aku menarik lengannya agar menghadapku.
Mataku melebar saat melihat ujung bibirnya yang terluka.
"Muka kamu kenapa?" Aku mencoba untuk menyentuh wajahnya, namun Nuca menghindari tanganku.
"Bukan urusan kamu."
"Nuc, tapi luka kamu—"
Nuca menghela napas kasar. "Aku dipukul papa, karena jauhin kamu. Puas?"
Aku membisu.
Tatapan itu, kembali lagi.
Tatapan penuh kebencian yang sudah lama menghilang itu kembali."Maafin aku," desisku.
Nuca pun berlalu begitu saja dan mengabaikanku. Bagaimanapun juga, wajar saja ia bersikap seperti itu setelah semua perlakuan jahatku padanya.
***
Aku menidurkan kepalaku di atas meja sembari memikirkan Nuca. Sudah lama sekali rasanya aku tidak bertemu dengannya. Aku bahkan hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Menyedihkan.
Seseorang meletakkan botol obatku di atas mejaku. Aku pun mendongak dan tersentak saat melihat orang tersebut adalah Nuca.
"Nuca?" Panggilku tak percaya.
"Ketinggalan di kantin."
Sedetik kemudian ia kembali membalikkan tubuhnya untuk keluar dari kelasku. Tanpa pikir panjang aku segera mengejar langkahnya.
"Nuca!"
"Nuca tunggu!" Pekikku yang kemudian membuat langkahnya terhenti."Kenapa?"
"Kenapa kamu masih peduli?" Tanyaku pelan.
Nuca menaikkan satu alisnya tak mengerti.
"Seharusnya kamu biarin aja obat aku ketinggalan di kantin, kamu ga perlu repot-repot buat—"
"Jangan berlebihan, aku udah punya pacar," potong Nuca dingin.
Ucapan Nuca seakan mampu mengunci rapat bibirku.
"Aku tau kenapa kamu kayak gini. Makanya, kasih aku kesempatan buat jelasin semua kesalahpahaman kita waktu itu, Nuc."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...