Perlahan aku mencoba untuk membuka mataku yang terasa begitu berat. Aku mencium aroma obat-obatan yang begitu menyengat indra penciumanku. Sepertinya aku berada di rumah sakit
"Akh," aku meringis kesakitan saat mencoba untuk bergerak.
"Ra, kamu udah sadar?" Seseorang menyentuh bahuku pelan.
"Sam?" Desisku.
"Iya, ini aku."
"Yang lain mana?" Tanyaku dengan suara parau.
"Yang lain udah pulang ke Jakarta, Ra. Kamu udah seharian pingsan. Cuma aku yang stay disini sama bu Rika."
Aku pun menekan pelan kepalaku, mencoba untuk menyadarkan diri sepenuhnya. Tak lama kemudian, aku mendengar suara derapan kaki yang kian mendekat.
Ceklek
"Tiara?" Suara ibuku dari ambang pintu membuatku mengalihkan pandangan.
"Mama?"
Ibuku pun berlari untuk segera mendekapku dalam pelukannya diiringi dengan ayahku dan juga bu Rika yang baru memasuki ruangan ini.
"Kamu gapapa sayang? Apa yang sakit?" Ibuku menangkup wajahku dengan tangannya.
"Tiara gapapa tante, kata dokter cuma shock aja, jadinya pingsan," ibuku pun menoleh ke arah Sam.
"Kamu temannya Tiara?"
"Iya, tante, nama aku Sam."
"Makasih yah, udah jagain Tiara."
Sam nyelametin aku?
"Kenapa kamu bisa sampe ke daerah berbahaya, Ra? Aduh, kamu bikin mama jantungan aja. Ga bisa tidur mama Ra semalem dapet kabar gini."
"Maafin aku ma," gumamku.
"Yaudah sekarang kamu istirahat dulu. Tante titip Tiara dulu yah, Sam," ucap ibuku lalu mengecup keningku.
"Mama mau kemana?"
"Mau ke kamar sebelah, Ra. Nuca masih belum sadar."
"Nuca?"
"Iya. Tapi kamu ga boleh kemana-mana du—"
"Nuca kenapa ma?"
"Nuca kan sama kamu kemaren. Katanya Nuca yang parah, kakinya patah, lengannya retak. Om Reino ga bisa kesini karena lagi dapet tugas di Kalimantan."
Jadi, bukan Sam yang menyelamatiku? Jadi orang itu adalah Nuca?
"Aku mau ke kamar Nuca, ma!" Aku pun beranjak dari kasurku namun ibuku menahanku.
"Tiara, kamu belom boleh kemana-mana dulu, biar mama sama papa aja yang kesana."
"Ma, Nuca jadi gini gara-gara aku!"
Dengan langkah yang gontai, aku pun menarik infus yang melekat di tanganku lalu berjalan ke luar.
"Tiara!" Ibuku pun akhirnya mengalah lalu membopong tubuhku yang masih belum seimbang menuju kamar Nuca.
Saat aku memasukki pintu kamar tempat dimana Nuca dirawat, kakiku terasa begitu lunglai, hatiku seakan terenyuh melihat Nuca yang tidak sadarkan diri dengan lilitan gips di kaki dan tangannya.
Dan kau tau apa yang lebih menyakitkanku? Seharusnya Nuca hari ini pulang ke Jakarta untuk ikut seleksi timnas basket.
Seharunya Nuca bersenang hati karena berhasil meraih mimpinya dari kecil.
Bukan malah terbaring di rumah sakit hanya karena gadis berpenyakitan seperti aku."Maa.." desisku sembari memeluk ibuku. Ku rasakan sudut bibirku yang turun, penglihatanku perlahan buram karena air mata yang menumpuk di pelupuk mataku.
"Maa.. kenapa Nuca belom sadar?" Ucapku dan terus terisak.
"Ma.. Nuca seharusnya ga kayak gini ma. Salah aku yang manggil nama dia, salah aku yang minta tolong sama dia sampe akhirnya dia nyelametin aku.""Nuca bentar lagi sadar kok. Jangan nangis lagi yah sayang," ibuku hanya mengusap kepalaku sembari menenangkanku.
"Ma.. Nuca seharusnya seleksi timnas hari ini.. aku udah ngancurin mimpi Nuca, ma."
Hatiku sakit sekali saat melihatnya seperti ini. Bernapas pun rasanya aku sangat sulit.
Nuca, maafkan aku.
***
Aku merasakan sebuah tangan yang mengusap kepalaku, aku pun membuka mata lalu menegakkan kepalaku.
"Nuca, kamu udah bangun?"
Nuca mengangguk.
Aku pun menunduk, menenggelamkan kepalaku pada lenganku lalu menangis sekuat mungkin yang ku bisa. Rasanya aku ingin mengeluarkan semua kesedihanku saat ini. Aku kesal pada diriku sendiri, dan aku kesal harus melihat Nuca terluka.
"Maafin aku," ucapku di sela tangis.
Aku tau ini adalah perbuatan yang tidak bisa dimaafkan, aku telah menghancurkan mimpi Nuca.
Aku merasakan tangan yang menarik lenganku agar aku berhenti menutupi wajahku.
Mataku dan mata Nuca pun bertemu.
"Bukannya aku pernah bilang? Hati aku sakit tiap liat kamu nangis."
Dasar jahat! Bahkan dia sadar saat mengatakan hal itu padaku, mengapa ia berpura-pura lupa waktu itu?
"Kenapa harus ngorbanin diri sendiri? Seharusnya jangan dateng pas aku manggil kamu, bodoh banget jadi orang," ucapku dengan bibir yang gemetar, berusaha untuk menghentikkan tangisanku.
"Justru aku berterima kasih sama kamu, Ra. Karena kalo kamu ga manggil aku waktu itu, aku mungkin ga akan bisa nemuin kamu, dan aku ga bakal maafin diri aku sendiri kalo terjadi sesuatu sama kamu."
Kenapa dia malah membuatku semakin ingin menangis?
"Kamu seharusnya seleksi timnas besok. Aku tau seberapa besar mimpi kamu untuk itu, dan sekarang aku malah ngancurin semuanya. Nuc.. aku—"
"Walaupun aku dikasih kesempatan kedua untuk milih masuk timnas atau nyelametin kamu, aku ga akan ngerubah keputusan aku, Ra."
***
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen, karena 1 vote dan 1 komen dari kalian sangat berarti demi selesainya cerita ini
Terima kasih semua❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlove you
RomanceDingin. Kasar. Berhati batu. Begitulah caraku menggambarkan Giannuca. 10 tahun sudah aku menyukainya secara sepihak. Sampai akhirnya aku merasa, haruskah aku menyerah? Haruskah aku membiarkannya pergi? Semuanya terjawab saat aku mengetahui alasan me...