Khatulistiwa

18K 1.7K 32
                                    

Koreksi kalau typo ya. Jempol lagi nggak sinkron.
.

Nadin menghembuskan nafasnya pelan. Sedari kemarin sinyal menghilang begitu saja, membuat dirinya menggeram kesal sekaligus bingung untuk mengerjakan tugasnya. Teh yang tadinya mengepul pekat kini sudah mendingin, di diamkan sang empu yang memilih fokus mencari sinyal di antara lebatnya hutan yang tak bisa di prediksi dengan baik. Lebatnya vegetasi membuat sinyal kadang ada kadang tidak. Hal itulah yang sempat menyulitkan Nadin.

Nafasnya kembali terhembus kasar ketika hujan tiba-tiba turun membasahi bumi Borneo. Cepat-cepat Nadin beranjak dan menutup jendela yang menghadap lebatnya hutan. Tangannya tergerak hendak menutup, tetapi netranya menangkap sesuatu di sana. Tiba-tiba listrik yang mengalir di rumah daruratnya itu mati, membuat Nadin agak berjenggit kaget. Tetapi netranya kembali fokus menatap objek yang berada kurang lebih 50 meter di depannya. Walaupun nampak gelap, tetapi mata gadis itu begitu awas.

Mata Nadin menajamkan penglihatannya ke arah titik tersebut. Suara hujan meredam 'suara' yang berada di titik sana. Nadin hendak mengambil senter tetapi mengurungkan niatnya karena Nadin merasa salah seorang di sana melihat ke arahnya. Lantas dengan cepat Nadin menutup jendela cepat. Kakinya melangkah menuju laptop yang masih menyala. Tangannya membuka salah satu email yang belum sempat ia buka. Sembari menunggu pesan terbuka karena sinyal yang begitu buruk, Nadin menyalakan lampu minyak yang menjadi alternatif ketika lampu padam. Dilihatnya rumah bu Maria yang temaram dngan lampu minyak. Kemudian Nadin memilih menutup pintu depan sekalian di kunci.

Nadin kembali lagi menatap laptop yang sudah menampilkan sebuah pesan surel. Ia membacanya dengan teliti dan mencatat poin penting di sana di sebuah buku catatan yang ia bawa dari Jawa.
Beberapa kali mengklik-klikan pena sambil menganalisis sesuatu. Mencoret setiap frasa yang di rasa tak sesuai. Ia bahkan mendesah pelan kalau menemukan sebuah chaos yang begitu menyulitkan.

Di antara hujan yang tak begitu deras namun ritmenya tetap itu tiba-tiba terdengar suara gaduh yang berasal dari dekat rumahnya. Seketika Nadin bangkit hendak memeriksa tetapi ia urungkan kala beberapa orang berteriak sambil berlarian. Hanya sebentar saja, tak lebih dari satu menit sehingga membuat Nadin cepat-cepat membuka pintu depan dengan perlahan, memastikan suara tadi masih ada atau tidak.

Nafasnya berhembus pelan kala di luar justru sepi. Hal itu membuat Nadin kembali mengunci rumah daruratnya itu. Nadin berdecak pelan, ia masih penasaran dengan suara tadi. Bahkan suara yang begitu jelas, tetapi warga yang tinggal di dekatnya tak berkutik sama sekali. Seakan tak terjadi sesuatu yang berarti. Namun bagi Nadin, itu adalah sebuah point yang tak bisa di abaikan begitu saja.

Nyala lampu minyak perlahan meredup ketika minyak tanah itu perlahan mulai habis. Nadin menghela nafasnya berat, perlahan ia menutup laptopnya dan memilih untuk mengistirahatkan badannya saja. Masih ada tugas di esok hari yang harus ia tunaikan. Justru tugasnya akan semakin berat esok hari.

*****

Raksa melepas kaca mata tembaknya, kemudian meletakkan senjata laras panjangnya itu ke tempat semula.

"Ndan, istirahat." Ucap Letda Lutfi pada Raksa. Kemudian laki-laki berusia 26 tahun itu menyahut, "Kemana?"

"Padang depan. Tanggal tua ndan." Raksa terkekeh pelan, begitupun Letda Lutfi yang ikut tertawa. Mereka lantas melepas semua atribut latihan menembaknya. Hari ini beberapa anggota mendapat jadwal rutin menembak.

"Ayok." Ajak Raksa pada juniornya itu.

"Kasuh kapan pulang ke Semarang? Saya lihat kasuh jarang mengambil cuti." Selama ini Letda Lutfi melihat Raksa sering menghabiskan waktunya di barak maupun di kesatuan ketimbang mengambil hari untuk cuti pulang.

DersikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang