Citra

13.2K 1.5K 130
                                    

cit·ra kl n 1 rupa; gambar; gambaran; 2 Man gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; 3 Sas kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi; 4 Hut data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi;
.
.

Pagi sekali Raksa sudah mendarat di bandara Abdurrahman Saleh, Malang, Jawa Timur. Laki-laki itu langsung memesan ojek online untuk membawanya ke rumah dinas yang Hira tempati.

Sesuai janjinya pada sang adik yang akan ke Malang, maka Raksa kali ini pergi ke Malang, itung-itung juga melepaskan diri sejenak dari kepadatan jadwal yang hampir membuat Raksa menjadi anak durhaka.

Setelah beberapa menit kemudian, Raksa sampai di rumah dinas sang adik. Langsung saja laki-laki itu mengetuk pintu.

"Wa'alaikumussalam," Sahut Hira dari dalam. Perempuan itu lantas membuka pintu dan menganga setelah tahu siapa yang telah datang pagi-pagi ini.

"Ini nggak salah bang Raksa kemari? Apa Hira masih halu ya?" Monolog perempuan itu sambil menggaruk kerudung instannya. Wajah komuknya begitu terlihat menggelikan di mata sang kakak, apalagi dengan daster kebesaran khas ibu-ibu yang di pakai sang adik.

"Halu-halu! Ini nyata dek. Udah deh, abang mau masuk." Raksa dengan kekuatannya menggeser sang adik dan masuk tanpa dipersilahkan terlebih dahulu.

"Nggak sopan!" Ucap Hira kemudian setelah sadar jika abangnya memang datang ke Malang.

"Katanya sibuk. Kok bisa kemari?" Cibir Hira lagi.

"Katanya elu kangen gue? Giliran dateng malah dicibir. Mau lu apa sih dek?" Decak sang abang.

Lantas Hira terkekeh dan langsung memeluk sang abang. "Dih udah punya suami masih meluk-meluk kek bocah ke abang. Tsuhh! Sana minggir, elu bau dek."

Hira mendelik dan mencubit perut sang abang, "Hujat teross! Emang ya mulut abang tuh pedes, sepedes cabai keriting yang harganya selangit."

"Daripada berdiri kagak jelas, mending buatin abang minum. Abang haus."

Hira menggeleng, mencebikkan mulutnya layaknya bocah. "Ambil sendiri bang. Hira mau lanjut nyuci. Dasar pengganggu."

Lalu Hira memilih ke dalam rumah, mengabaikan Raksa yang sudah tidak jelas mukanya. Ia kira bakal dijamu dengan baik dan istimewa oleh sang adik, ternyata malah mendapat perlakuan yang menyebalkan.

"Kalau gitu abang lebih baik di barak dek ketimbang di sini lo cuekin." Gerutu Raksa yang membuntuti Hira.

Hira lalu berbalik, "Hih kayak bocah. Gitu aja baper." Hira tersenyum lebar lalu menyuruh sang abang untuk duduk.

"Nih sarapan yang banyak. Hira tahu abang lapar pake banget. Kan perut abang nggak bisa nahan lapar lama-lama."

Hira menyiapkan sarapan untuk sang abang yng seketika menjadi lapar, padahal di pesawat tadi sempat ngemil roti gandum, tetapi melihat sang adik yang memasak nasi tempe, tahu dan sambal teri itu seketika perut Raksa bergejolak hebat, hendak memakan semua hidangan yang berada di meja makan.

"Habis ini antar Hira ke kampus. Ada wisuda akbar bang." Hira melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Lantas perempuan itu pergi ke belakang untuk mengeringkan pakaian yang sudah di cuci lalu langsung lanjut mandi dan siap-siap.

Setelah kurang lebih 30 menit, Hira sudah siap dengan pakaian formalnya untuk menghadiri wisuda. Perempuan itu mendapat jatah untuk menjadi panitia dalam wisuda kali ini. Selain itu, di Fakultas Kedokteran juga mengadakan sumpah dokter bagi mereka yang sudah koas dan menjalani serangkaian menuju sumpah dokter.

DersikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang