Graben atau slenk adalah hasil dari patahan pada kulit bumi yang mengalami depresi dan terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi.
.
.Dersik, sebuah kata yang mewakilkan tentang suara angin. Aku teringat ketika tugas di Kalimantan dulu. Angin hutan yang berhembus, menggesekkan ranting dan pepohonan yang membuat suara khas di sana. Dersik, diam-diam membisikkanku tentang mantra ajaib. Seolah-olah aku terjebak dalam sebuah labirin kehidupan yang berputar layaknya cakra Sudarsana milik Basudewa Khrisna.
Dersik, awal ku menemukan sebuah kehidupan. Entah cinta, perjuangan, rasa sakit, kecewa, marah, dan bahagia. Semua terjadi seperti roda yang berputar, membuat diriku kadang merasa muak dan ingin berhenti saja.
Dersik, di tanah Borneo aku bertemu dengan dia. Laki-laki dengan wajah tegas nan mengintimidasi itu berhasil menyusup dengan cepat dan tepat di hatiku. Merayu dan menyembuhkan luka yang sempat membuatku kuyu. Dia yang angkuh berdiri menantang langit, tak ubahnya berhati lembut dan penyayang. Aku beruntung menemukannya.
Keraguan atas suara Dersik yang menipu sempat menyelinap di hatiku. Namun dengan keyakinan dan keteguhannya, ia berhasil masuk dan mengunci hatiku hingga sekarang, ayah dari anak-anakku kelak.Dia juga yang berhasil membuatku yakin akan ada kebahagiaan setelah pahit yang ku enyam berpuluh tahun. Dia datang untuk memelukku dan menggengam tangannku erat. Dia juga yang membantu menghapus bayang-bayang kecemasan yang sempat membayangiku bertahun-tahun.
Aku tersentak, lantas kepingan memori dalam benakku seketika buyar ketika mendengar suara anak kecil tertawa riang tanpa beban. Lalu aku tersenyum ke arah laki-laki yang kini kelimpungan mengatasi putra kami yang sudah lancar berjalan. Bhre, adalah cahaya sekaligus permata yang membuatku bahagia menjadi seorang ibu. Malaikat kecil itu menjadi pelengkap kebahagiaan kami sebagai keluarga kecil. Bhre hadir untuk membuatku tersenyum dan tersenyum. Bhre adalah anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan kepadaku.
"Ayo tangkap ayah Bang." Sayup-sayup aku mendengar Mas Raksa berbicara kepada putraku, Bhre, yang nampak tertawa riang dengan gigi depan yang berjumlah 4 itu. Bhre kini berusia 15 bulan dan sedang aktif-aktifnya membuat kami kelimpungan.
Tiba-tiba Bhre berlari kecil ke arahku yang sedang duduk di bawah pohon rindang. Kami saat ini sedang tamasya kecil di salah satu taman di kawasan Menteng. Mas Raksa mengajakku dan Bhre untuk sejenak melepas penat. Selain itu, ia juga ingin putra kami bisa mengenal dunia luar dengan baik.
"Mama, mik." Ucap putraku itu dengan sangat menggemaskan. Setelah bermain dengan ayahnya, nampaknya Bhre haus dan lapar. Segera aku memberikan susu dalam botol dimana itu adalah ASI yang sudah aku pumping sebelum pergi tadi. Langsung saja Bhre meminumnya sambil tiduran di pangkuanku.
Mas Raksa menghampiri diriku. Laki-laki itu lantas meneguk air mineral yang kami bawa dari asrama.
Lalu aku mengedarkan pandanganku ke taman yang begitu ramai di hari libur ini. Akhirnya kami bisa menikmati waktu bersama setelah sebulan lebih kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kenapa kamu nggak mau mas ajak liburan ke Puncak?" tanya Mas Raksa kemudian.
"Kemarin kan Bhre rada flu, takutnya kalau diajak pergi nanti malah demam. Terus juga, kita harus hemat Mas. Katanya pengen punya rumah sendiri? Nggak mungkin 'kan kita terus-terusan di asrama?"
Kemarin Mas Raksa sudah ingin mengajakku ke Puncak, Bogor sebagai gantinya quality time, namun aku menolaknya. Lagipula quality time nggak harus keluar kota. Cukup ke taman kota dan bersama keluarga itu sudah cukup. Selain itu, aku takut mengajak Bhre jalan jauh karena sempat flu kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dersik
General FictionHutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak semudah itu ketika duniamu menolak akan hal mutlak yang kau jalani itu. Cerita ini hanyalah fiktif belaka, bila ada kesamaan nama, tempat, gel...