🌻43

70 8 1
                                    

"Paman, apa masih jauh?"

"Sebentar lagi, sayang. April sudah tidak sabar bertemu Mama ya?"

"Iya. April kangen banget sama Mama. Oh ya, nanti April bakal ketemu sama Papa juga?"

"Eh?"

"Kata Mamay, Papa April juga orang Jakarta?"

"Ah, iya."

"Jadi, nanti April bisa ketemu sama Papa juga dong?"

"Ehm... iya."

"Asik! Akhirnya April punya Papa. Yeay! Nanti April mau pamer ke Senja sama Angin kalau April punya Papa. Hihi"

April berseru heboh karena saking girangnya.

"Ehm... Papa April orangnya seperti apa ya, Paman? Apa dia lebih ganteng dari Paman? Apa dia orang yang baik?"

"Tentu saja."

"Lebih baik dan lebih ganteng dari Paman?"

"Ehm... Itu benar."

"Paman, Apa kita sudah sampai?"

"Iya, sudah."

"Wah, rumahnya besar sekali. Paman, apakah Papanya April orang kaya?"

Pram terkekeh pelan seraya mengangguk.

"April tunggu di sini sebentar ya. Paman tidak akan lama."

"Oke, Paman."

Namun tanpa sepengetahuan Pram, ternyata April berjalan mengikutinya.

"Mama? Eh, apa orang itu... Papa? Wih iya bener. Papanya April memang ganteng. Mirip sama Paman. Tapi... bocah itu siapa?"

"Jillian!"

April terlonjak dan langsung bersembunyi di balik gerbang. Baru pertama kali mendengar Pram berteriak seperti itu.

"Lian, bawa Alaric masuk ke rumah! Biar aku yang bicara dengannya."

"Tidak. Tunggu Lian! Kita perlu bicara."

"Kau bisa bicara denganku."

Kedua kaki April ingin bergerak ketika seorang pria bertubuh tinggi menghalangi Pram.

April kembali bersembunyi. Merasa takut dengan perubahan wajah pria yang lebih tinggi dari Pram, tampak menyeramkan karena pria itu melotot dengan wajah marah.

"Mengapa kau begitu takut? Aku tidak akan merebutnya darimu jika dia memang sudah menjadi istrimu lagi."

Pria itu melotot lagi. April semakin ragu. Apa benar, pria menyeramkan itu adalah Papanya?

"Bukankah kalian sudah bercerai?"

Ha? Cerai?

"Kami masih saling mencintai. Saat aku mengajaknya untuk rujuk, Lian langsung menyetujui. Maka dari itu, bisakah kau biarkan kami hidup tenang? Sudah benar kau meninggalkan rumah ini, kenapa malah kembali?"

Eh? Meninggalkan rumah?

"Dengar, Pram. Aku dan Lian sudah memiliki putra. Jadi, meski kami berpisah pun, kami akan tetap terikat. Dan sekarang kami sudah bahagia. Jadi, bisakah kau enyah sekarang?!"

Memiliki putra? Maksudnya... bocah tadi... anaknya Mama juga? Jadi, itu alasannya kenapa Mama pergi? Mama sudah punya anak lain dan nggak butuh April lagi?

"Lalu, bagaimana dengan April?"

April memasang telinga dengan seksama, berharap pria itu juga mau menerima dirinya. Akan tetapi...

"Kau urus saja anakmu sendiri. Kenapa? Tidak mampu? Mau kubantu? Aku akan berikan sebanyak yang kau mau asal jangan pernah muncul di hadapan kami lagi."

Paman bohong! Papa bukan orang yang baik. Papa jahat! Mama juga jahat! Kenapa kalian membuang April?!!

"Dasar anak haram!"

"Anak pembawa sial!"

"Kau sudah menghancurkan masa depan Pram. Enyah kau anak pungut pembawa sial!"

"TIDAK! APRIL BUKAN ANAK PUNGUT PEMBAWA SIAL!"

....

Aih, mimpi sialan itu lagi!

Padahal April sudah lama tidak bermimpi tentang masa lalunya---yang menyedihkan itu. Bahkan semenjak lulus SD, April sudah tidak mengingat wajah---yang katanya adalah kedua orang tuanya.

Maka dari itu, ketika bertemu kembali dengan Jillian di rumah sakit waktu itu, dan waktu menyelamatkan Loga, April tidak mengenali wajah mereka.

April memang sempat merasa familiar dengan wajah Jillian, hanya saja gadis itu buru-buru menyadarkan diri bahwa wanita yang ia jumpai di rumah sakit waktu itu bukanlah Mamanya. Sedangkan Loga... kejadian itu terlalu cepat dan kebetulan situasinya tidak bagus untuk mengingat siapa orang itu.

"Sudah bangun?"

April kaget dong tiba-tiba melihat Loga yang duduk di dekat ranjang menghadap ke arahnya dengan wajah berantakan.

"Eh?"

April segera menepis tangan Loga yang hendak menyentuh keningnya. Pria itu tidak marah, malah terkekeh pelan.

"Sudah sembuh rupanya."

Apaan sih? Eh!

April dibuat kaget lagi ketika noleh ke kiri malah mendapati wajah Jillian. Perlahan, kedua mata wanita itu mengerjap.

Anjir, hadep kanan sama kiri sama-sama ngeselin!

April jadi bingung. Akhirnya gadis itu bangkit, hendak turun dari kasur, namun Jillian lebih dulu menahan lengan putrinya.

"Eh, April mau kemana?"

Jillian ikut beranjak, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening April.

"Syukurlah." Gumam Jillian membuat April merasa aneh.

"Loh, Loga. Wajahmu....

Jillian kaget melihat penampilan Loga yang terlihat berantakan. Wajah yang biasa memancarkan aura tegas penuh wibawa, kini terlihat kuyu dengan lingkaran hitam pada kedua matanya yang memerah. Efek tidak tidur semalaman.

Loga malah menguap. "Kalian sambung tidur saja. Biar aku yang menyiapkan makanan."

Setelah mengatakan itu, Loga berjalan keluar dari kamar.

"April sudah merasa enakan? Apa masih ada yang sakit?"

April cuma menggeleng.

"Yaudah, Mama bantuin Papa dulu. April istirahat saja, oke?"

April tak menjawab, malah menatap Jillian dengan datar membuat wanita itu tergagap lalu tersadar dan buru-buru turun dari ranjang April, lalu pergi menyusul Loga.

"Mereka pada kenapa sih? Aneh banget. Bentar... perasaan pintu udah gue kunci, udah gue ganjel meja juga. Gimana mereka bisa masuk?"

April memandang ke arah pintu, lalu mendapati meja belajarnya yang tergeser begitu jauh dari posisi pintu.

"Aish!"

April kembali membaringkan tubuhnya ke kasur. Kepalanya masih terasa mumet dan pagi ini berencana membolos saja. Lagian hari bebas juga kan?

"Bentar... tadi malam gue demam. Terus..."

April menepuk jidatnya pelan. Jadi, semalam itu bukan mimpi? Jillian dan Loga memang berada di dalam kamarnya sepanjang malam, lalu...

"April, Papa minta maaf. Papa janji, begitu April sembuh, Papa akan menuruti semua kemauan April."

Apa... itu juga bukan mimpi?

Seketika bibir April menyeringai. Sepertinya dia sudah menyiapkan permintaan yang akan ia ajukan kepada Loga nanti.

.

31-12-2024

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang