1.⠀⠀The Damned Don't Cry

5.1K 507 158
                                    

CHAPTER 1THE DAMNED DON'T CRY

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 1
THE DAMNED DON'T CRY

⋅⥉⤉⋅

❝Kota ini bertahan kokoh semata-mata karena 𝖗𝖆𝖍𝖆𝖘𝖎𝖆-𝖗𝖆𝖍𝖆𝖘𝖎𝖆 kecil busuknya.❞

























DARAH DAN KERINGAT membaluri lantai. Buku-buku jarinya penuh memar, seluruh tubuhnya diserang rasa sakit. Tetapi ia menang. Ia menang. Napas Robyn tersengal ketika ia tersenyum lebar.

Wajah George Stevenson penuh luka, hidungnya mengucurkan darah segar. Koridor kecil buntu yang tercipta antara lemari sapu dan gudang itu hening, seakan menegaskan fakta kalau tempat itu adalah tempat favorit bagi orang-orang dengan pikiran yang sudah terpengaruh iblis. Menghisap ganja, merokok, berkelahi.

Semuanya tersembunyi dengan baik di sana. Koridor buntu itu seakan menjadi rahasia kecil yang kotor bagi mereka semua.

Beberapa guru mungkin tahu akan reputasi gelapnya, tetapi tampaknya tidak ada yang mau bersusah-payah menegakkan kebenaran. Lagipula, kebenaran sudah sejak dulu bengkok di kota penuh dosa ini. Hal itu telah terjadi terlalu lama, bahkan nyaris jadi tradisi. Kota ini bertahan kokoh semata-mata karena rahasia-rahasia kecil busuknya.

"Wajahmu terlihat seperti kotoran anjing yang dicemari limbah, Haze." George meludah ke dekat kaki Robyn, membuat gadis itu mundur dengan jijik. George memegang perutnya, terlihat kesakitan, tetapi tak mau mengakui itu. Ia mencoba berdiri kendatipun rasa sakit tampak menguasai—dan kembali jatuh dalam posisi yang sama menyedihkannya ke lantai. "Aku berharap ibumu yang pelacur itu tidak menangis melihatmu." George kembali terkekeh, namun Robyn hanya bisa menatapnya dengan pandangan membunuh. "Kau jalang hina, sama hinanya seperti ibumu."

Dug!

Lagi, dan lagi, Robyn meninju wajah pemuda itu, tepat di hidung. Terdengar sesuatu yang retak di bawah sana. Robyn dapat merasakan luka yang mulai terbentuk pada memar di buku-buku jarinya, rasa sakitnya membakar. Robyn mengangkat tinjunya, lalu menarik kerah George hingga ia berdiri. Ia memasang ancang-ancang, bersiap mendaratkan tinju yang lain.

Ada rasa panas di dalam dada Robyn, sesuatu yang membuat ia marah sekaligus bersemangat. Sesuatu yang membuatnya puas, membuatnya merasa ketagihan. Memar-memar yang ada bukanlah sesuatu yang buruk, mereka adalah tropi kemenangan.

Begitulah cara bertahan hidup di Dewick. Kalau kau tak bisa mempertahankan satu-satunya harta yang kau punya—nyawamu—maka habislah kau. Dewick tak akan pernah selesai denganmu. Kau harus terbiasa dengan segala hiruk-pikuk terkutuk kota ini.

CHAOS ━ BOOK 1 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang