19.⠀Inner Sanctum

645 155 57
                                    

CHAPTER 19INNER SANCTUM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 19
INNER SANCTUM

⋅⥉⤉⋅

❝Aku masih berhutang janji padamu untuk membunuh 𝖇𝖆𝖏𝖎𝖓𝖌𝖆𝖓 itu bersama, bukan begitu?❞

















"BAWA AKU KEMBALI." Suara Robyn dingin dan tak acuh ketika ia bicara. Ia menyadari itu.

Gadis itu berdiri, merasa sangat jahat karena mengabaikan kata-kata Alder. Ya, pemuda itu bilang dia peduli. Tapi kenapa? Robyn tak ingin memikirkannya. Banyak pertanyaan berkumpul dan berdebu di otaknya, tak berhasil mendapatkan jawaban yang ia cari.

Perjalanan mereka kembali terasa lebih hening daripada seharusnya. Alder tak lagi berbicara, dan ia menghindari tatapan Robyn. Robyn bersyukur Alder melakukan itu. Robyn dapat menyibukkan dirinya dengan setir mobil, dan pemuda itu bisa memikirkan tentang kemana kehidupannya sendiri akan membawanya.

Rosemary memberi mereka dua kunci ketika mereka tiba.

"Agatha dari kamar di koridor itu baru tiba dua hari yang lalu," Rosemary berbisik sedih sambil menunjuk deretan pintu. "Dia sering menangis di malam hari. Dokter bilang itu normal. Kuharap kalian maklum."

Alder menggumamkan terima kasih, seperti biasa. Robyn dengan gugup mengikuti.

Ketika Rosemary telah berada di luar jangkauan pendengaran, Robyn tak tahan lagi.

"Alder."

Sebelah tangan Alder telah berada di gagang pintu salah satu kamar ketika ia menoleh. "Ya?"

Robyn menarik-hembuskan napasnya, mencari kata-kata yang tepat. "Maukah kau menemaniku?" Entah kenapa segala hal yang ingin diucapkannya tertahan di tenggorokan, mencekiknya dari dalam. "Hanya menemani. Tak lebih."

Robyn tahu Alder memahaminya. Pemuda itu selalu tahu batas.

Alder mengangguk.

Robyn tak tahu kemana rasa lelah membawanya. Yang jelas, tangan Alder melingkari pinggangnya ketika mereka berbaring berhadapan di atas tempat tidur yang berderit pelan, tanpa sepatah kata pun. Terdengar isakan samar dari salah satu kamar di luar sana. Robyn berpikir telinganya mengelabuinya ketika ia mendengar nyanyian pelan yang ia yakini pastilah suara Nancy. Robyn dapat mendengar detik pelan dari jam dinding, menegaskan kalau malam semakin larut dan segalanya semakin hening.

Alder tak berbicara. Robyn merasa kehilangan arahnya; pemuda itu selalu tahu apa yang harus dikatakan. Robyn menyesali setiap guliran waktu yang mereka habiskan dalam sunyi. Ia tahu betapa seriusnya dampak pengabaian yang ia lakukan.

Robyn mendekatkan diri, merasakan kehangatan pemuda itu dari balik kulit mereka yang bersentuhan. Aroma Alder makin kuat tercium ketika ia melepaskan jaketnya; sebuah paduan dari aroma yang halus dan evokatif secara bersamaan, memberi Robyn ingatan akan hal-hal yang telah lama berlalu. Pikirannya kembali ke motel di pinggiran kota Almirmo, ke sofa, ke film hitam-putih. Alder menenangkannya, ketika ia mabuk dan menangis seperti bayi karena duka yang tak dapat ditanggungnya lagi. Robyn menyadari kalau ia tak dapat melupakan aroma Alder sejak malam itu.

CHAOS ━ BOOK 1 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang