18.⠀The Desperate Hours

606 153 24
                                    

CHAPTER 18THE DESPERATE HOURS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 18
THE DESPERATE HOURS

⋅⥉⤉⋅

❝Kau 𝖒𝖆𝖓𝖚𝖘𝖎𝖆. Peluk kenyataan itu.❞

















MEREKA BERHENTI DI dekat tanda dari kayu yang ditancapkan di depan jalan setapak yang mengarah masuk ke hutan. Tanda itu sudah berlumut, tulisan yang ditoreh di atas kayunya yang kini lapuk itu tak dapat dibaca. Alder memarkirkan mobil disitu, lalu menoleh pada Robyn. "Kau mau melihat?"

Seberapa percaya ia kepada Alder?

Robyn mengantongi pisau pemberian Ivy dan revolver ibunya dalam kantong jaket kulit, kemudian turun dari mobil, mengikuti pemuda itu. Jalur ini jarang dilalui, terlihat dari betapa merajalelanya berbagai tumbuhan lumut dan paku-pakuan di permukaan tanahnya, juga betapa rapat tanaman di sekitarnya. Alder terus berjalan tanpa ragu, di bawah sinar temaram bulan yang menyorot melalui celah dedaunan.

Suara gemerisik daun, binatang, dan gerakan sekecil apapun membuat Robyn terkesiap; ia tak pernah merasa sebegini waspadanya sejak meninggalkan Almirmo. Tetapi hutan ini sunyi. Robyn bahkan dapat merasakan detak jantungnya berteriak di dalam dadanya.

"Kita hampir sampai," kata Alder, 10 menit kemudian. "Ah, ini dia."

Mereka berdiri di depan sebuah sungai kecil yang mengalir tenang. Pohon-pohon tumbuh agak berjauhan di dekat sungai, sehingga sinar bulan tidak terhalang sama sekali dan menyiram sekitarnya dengan lebih terang. Bintang-bintang berpantulan di atas air jernihnya, membuat Robyn dengan penasaran menengok ke atas dan menyadari betapa indahnya keadaan langit malam ini.

Alder menunjuk salah satu pohon yang tumbuh di dekat sungai, memandangnya dengan tatapan sendu. "Ini pohon favorit Mom. Ia dan kelompoknya menanam ini lama sekali, jauh sebelum aku lahir." Senyum sedih mengukir wajahnya, dan ia berjalan mendekat untuk mengusap pohon itu.

"Kelompok?"

"Ya..." Alder menggaruk bagian belakang lehernya, "ibuku dulu seorang hippie, ingat?"

Robyn tidak terlalu peduli dengan pohon itu. Sebaliknya, ia menengadah dan menatapi bintang-bintang yang berkilauan layaknya serakan batu permata di atas langit yang gelap.

"Pohon ini pohon alder," Alder berbicara kembali, dan perhatian Robyn teralih padanya. "pohon kesayangan ibuku. Ia bilang ia biasa duduk di bawah pohon ini setiap kali berkemah di sini, menulis puisi atau lagu."

"Jadi ibumu mendapat namamu darinya?"

"Kupikir begitu," Alder tertawa, tetapi tawanya berakhir dengan senyum miris. "Dulu sekali, saat aku masih kecil, kami biasa berkemah disini. Aku, Hickory, Mom, dan Dad."

Alder dan Hickory. Hanya seorang hippie yang memberi anak-anaknya nama macam itu.

Robyn terdiam, tak bisa berkata. Tetapi, Alder terus melanjutkan.

CHAOS ━ BOOK 1 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang