CHAPTER 11
WHILE THE CITY SLEEPS⋅⥉⤉⋅
❝Ti-tidak bisakah Tuhan membantuku? Apa 𝖉𝖔𝖘𝖆𝖐𝖚 terlalu banyak hingga ia membenciku sebegininya?❞
ROBYN MEMBUKA JENDELA kamar motel yang mereka sewa, membiarkan udara malam yang beku mengisi paru-parunya. Ia duduk di samping jendela, menatap kosong ke arah tulisan neon yang menyala-nyala di kejauhan, dekat badan jalan. Tak mampu menghentikan sumpah-serapah di dalam kepalanya yang sadar, terbebas dari pengaruh wiski tadi pagi.
Ia tengah bertelanjang kaki, kakinya ia angkat ke atas kursi dalam posisi setengah memeluk tubuhnya. Setelah mandi dengan air hangat, lelah yang menghinggapi Robyn terangkat sebagian; walaupun itu membuat Robyn makin merasa cepat kedinginan. Ia mengambil rokok dari dalam kantong jaket kulitnya, lalu menyulut dan menghisapnya seakan bibirnya telah lama mendamba benda itu.
"Kau tidak kedinginan?" Alder bertanya, nadanya basa-basi. Pria itu duduk di seberang Robyn, dengan meja bundar kecil sebagai pembatas mereka.
Robyn mengedikkan bahu. "Biasa saja."
"Aku memesan makan malam," Alder memberitahu, tatapannya hati-hati. "Kau bisa menggunakan kasur, sedangkan─"
"Cukup," Robyn memotong. Sudah cukup dengan omong-kosong lemah lembut yang Alder coba keluarkan padanya. Robyn tak perlu dimanis-manisi. "Kau, gunakan saja tempat tidur itu. Aku akan tidur di sofa. Dan jangan mencoba mendebatku."
"Tapi, kau menyetir..." Alder mencoba memberi argumen. "Dan kau mengantuk."
Robyn mendengus, tertawa kecil. "Berhenti membuang waktumu untuk berdebat denganku."
"Aku hanya mencoba beramah-tamah, oke?" Alder bangkit, alisnya bertaut dan dia memicingkan matanya. "Aku berhutang nyawa padamu, aku tahu itu. Dan aku menumpang, aku tahu. Jadi aku berusaha keras menebusnya."
"Kau sudah cukup menebus itu semua dengan membayar segalanya sejak awal," asap rokok mengepul keluar melalui jendela, terbang lalu menghilang bersama angin. "Aku tidak ingin pada akhirnya aku yang harus berhutang budi."
Alder mengabaikan kata-kata Robyn ketika ketukan terdengar dari pintu. Pria itu membukanya, mengambil nampan yang disodorkan, kemudian menutup pintu dengan kakinya.
"Mari makan," ia menyodorkan sepiring spageti pada Robyn, beserta sebotol air mineral. "Lupakan saja dulu."
Malam bergulir dengan cepat di musim gugur, beserta dengan angin sedingin es yang mengalir melalui jendela yang terbuka. Dingin yang sama kini juga merayapi dada Robyn, membuatnya mendamba wiski karena cairan itu satu-satunya yang bisa menghangatkan malamnya.
Pikiran berkecamuk di dalam kepalanya, sebuah dorongan bodoh diteriakan dalam otaknya. Robyn merasa tak kuat lagi menahannya, ingin bisa melupakan semua hal menyakitkan ini barang sejenak. Namun yang ia dapatkan sedari tadi adalah kebisingan di dalam kepalanya sendiri yang berandai-andai, menambah deritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHAOS ━ BOOK 1 | ✓
Mystery / Thriller𝐑𝐎𝐁𝐘𝐍 𝐇𝐀𝐙𝐄 selalu dikuasai amarah dan adiksi mematikannya sendiri, hingga sebuah peristiwa membangkitkan sisi tergelapnya. Kini, Robyn Haze keluar untuk membalas dendam. * * * [THE CHAOS TRILOGY: BO...