17.⠀Shadow On The Wall

577 164 19
                                    

CHAPTER 17SHADOW ON THE WALL

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 17
SHADOW ON THE WALL

⋅⥉⤉⋅

❝banyak orang yang hidup hanya mengandalkan 𝖉𝖊𝖙𝖆𝖐 𝖏𝖆𝖓𝖙𝖚𝖓𝖌 dan tidur tak nyenyak.❞















LARUT MALAM. Jalanan tak lagi menunjukkan kehidupannya, dan supermarket itu tampak seperti bangunan menyala yang tak berpenghuni dari kejauhan.

Mereka masuk ke dalam, merasakan aura kuno yang menenangkan ketika kehangatan lembut ruangan memandikan mereka. Supermarket itu tampak luar biasa lengkap, dan cukup besar hingga Robyn harus menahan diri untuk tidak melayangkan pandangannya ke setiap sudut untuk membunuh rasa penasarannya.

"Permisi," Robyn berbicara. Gadis yang berjaga di belakang meja kasir membelalak, tak mengharapkan kunjungan tengah malam. "Rosemary. Kami membawa pita biru dan ungu pesanannya."

"Ah, ya," gadis itu mengangguk kaku, takut-takut. "Sebentar."

Ia mengangkat telepon yang ada di atas meja, kemudian berbicara dengan suara yang terdengar seperti mencicit, "Nyonya Raymond, ada yang membawakan anda pita." Ia mengangkat wajahnya dan mengangguk kecil, senyum menghiasi sisi bibirnya. "Nyonya Raymond menunggu anda di pintu belakang."

⋅⥉⤉⋅

"Diana sudah menceritakan tentang kalian. Dia bilang kalian haruslah tetap tinggal disini dulu hingga ia memberi instruksi lain," Rosemary tersenyum lebar sekali, garis-garis kerutan samar di sekitar matanya ikut tertarik. Ia menyesap teh kamomilnya, memberi isyarat pada mereka untuk meminum teh yang tersaji di atas meja. "Ah, Robyn. Kau mirip sekali dengan ayahmu."

Robyn dan Alder sama-sama berpandangan, berbagi pandangan bingung.

Segalanya sempurna. Setidaknya, begitulah bagaimana cerita berlanjut. Diana memberi mereka alamat wanita paruh baya yang punya supermarket dengan penampungan bagi korban kekerasan tersembunyi di belakangnya, layaknya hotel. Kini Nancy dan ibunya dapat tinggal dengan tenang dan damai disini, tanpa takut dan khawatir apapun lagi. Setidaknya pria keparat itu sudah mati. Mereka hanya perlu mengobati luka psikis yang menggenang bertahun-tahun dalam kedalaman otak mereka.

Nancy dan ibunya mengucapkan selamat malam, kemudian pergi tidur ke dalam salah satu kamar kosong di ujung koridor, sekejap setelah Rosemary bertemu dengan mereka. Rosemary memberi mereka kunci dan bilang kalau mereka bisa tinggal selama yang mereka mau; sarapan tersedia mulai pukul tujuh. Nancy dan ibunya dapat memulai sesi terapi dengan psikiater lusa kalau mereka bersedia.

Semuanya gratis.

Ibunya Nancy memberi Robyn pelukan erat, walau ia masih tetap diam tak bersuara, tampak terguncang. Samar-samar, Robyn dapat mendengarnya menggumamkan ucapan terima kasih dalam suara yang parau. Nancy menguap, kemudian melambai pelan pada Robyn ketika pintu menutup di depannya.

Robyn merasa luar biasa penuh dan kosong pada saat bersamaan. Melihat kelegaan samar yang mulai tampak di wajah mereka, juga kebebasan yang diimpikan orang-orang, Robyn bertanya-tanya, kapan ia dapat meraih miliknya?

Dan kini, mereka tengah duduk di kafetaria, berhadapan di atas bangku-bangku, ditengahi meja panjang yang khas. Dihidangkan teh kamomil hangat sesaat setelah mereka duduk oleh seorang wanita tua dari belakang konter.

"Saya tahu ini terlalu awal untuk ditanyakan," Robyn tak dapat menahan dirinya. "tetapi saya hanya ingin tahu. Apa yang sebetulnya terjadi antara ibu dan ayah saya? Kenapa setelah kematian ibu saya, orang-orang tak dikenal tiba-tiba datang dan merangsek masuk?"

Rosemary menatap Robyn dengan pandangan lelah, yang dapat dengan mudah disembunyikan oleh bingkai rambut panjang bergelombang gelapnya andai saja Robyn tak memperhatikan. "Tampaknya, mereka memperlakukanmu dengan tak adil, Robyn. Membiarkanmu mencari jawaban atas pertanyaan itu sendiri."

Rosemary merapatkan mantel tidur bulunya. "Nak, kau benar-benar keluar dari rencana awal. Jiwa pemberontak muda Raymond belum luntur, ternyata." Ia terkekeh kecil. "Seharusnya, Robyn, ketika ibumu meninggal, apapun yang terjadi, kau harus mendatangi Diana. Itu tujuan pertamamu. Setelah itu keluarga ayahmu akan mengambil dan merawatmu." Helaan napas wanita itu terdengar sayu. "Kau benar-benar membuat berantakan banyak hal, nak. Aku tak menyalahkanmu. Donald Gibson pantas mati, kalau kau tanya aku."

"Apa hubungan ini semua sebetulnya?" Robyn merasa makin ditarik ulur ke dalam ketidakpastian.

"Keluarga kita punya musuh, dan setelah bertahun-tahun saling membuat perjanjian untuk tak berselisih lagi, musuh kita mulai bermain kotor."

Kata 'keluarga' yang keluar dari mulut Rosemary membuat Robyn bergidik tak percaya.

"Musuh kitakah yang membunuh ibu saya?" Robyn terus menuntut jawaban. "Donald Gibson adalah musuh kita?"

"Ya."

"Tetapi... kenapa?" Darah berdesir dalam telinga Robyn. "Saya masih tak paham."

Sesuatu yang basah dan hangat mengalir dari mata kiri Robyn, awalnya hanya setetes, namun lambat laun mulai deras, dari kedua matanya. Alder yang sedari tadi diam menatapnya dengan sedih, tetapi Robyn tak perlu empati Alder sekarang; dia perlu kebenaran.

Robyn perlu kebenaran atas nasib sial yang terus menggantung di atas kehidupannya. Ia perlu kebenaran untuk dapat melanjutkan hidup. Ia perlu pelampiasan dendam. Ia perlu membuang semua amarah yang dimilikinya kepada dunia, agar mereka tahu, agar mereka juga sadar, banyak orang yang hidup hanya mengandalkan detak jantung dan tidur tak nyenyak. Orang-orang dengan harapan dan impian yang hancur, seperti dirinya.

"Minum dulu tehmu," Rosemary meraih sekotak tisu yang ada di atas meja, kemudian menyerahkannya pada Robyn. "Dengar, sayang. Ernese adalah kota damai, orang-orang bilang begitu. Tak ada yang akan menyakitimu di sini."

Rosemary memandang ke sekelilingnya, seakan mengingat sesuatu yang membuatnya jijik. "Aku bersumpah akan membunuh orang yang berani mengganggu kedamaian Ernese. Hanya kota kecil menyedihkan ini yang kita punya untuk tetap waras di tengah kegilaan. Aku tak bisa menceritakan segalanya, sayang, setidaknya belum. Belum saatnya." Rosemary mendorong cangkir teh Robyn di atas meja berpelitur itu, kemudian mengusap singkat bahu Robyn. "Ayahmu bilang belum."

Robyn mengusap airmatanya dengan tisu, mengangguk memahami. "Siapa ayah saya?"

"Mereka tak memberitahumu?" Rosemary terlihat tak percaya. "Arthur Raymond. Demi Tuhan, mereka sangat buruk. Kau anaknya, kau berhak tahu." Rosemary menggerutu pelan. Walau Robyn tak memahami siapa yang dimaksud Rosemary dengan 'mereka', tetapi Robyn tetap mengikuti arah pembicaraanya. "Ngomong-ngomong, aku kakak ipar ayahmu. Hanya kalau kau bertanya-tanya," kekehnya.

Rosemary menutup pembicaraan tengah malam mereka dengan kuap singkat. "Kau akan tahu nanti, Robyn. Kau berhak tahu. Tetapi tidak sekarang. Beberapa kebenaran terlalu melelahkan untuk dicerna, dan kalian perlu istirahat yang dalam dan panjang. Kalian berhak mendapatkan itu."



⋅⥉⤉⋅



"Aku jadi ingat tempat kami biasa berkemah," Alder tiba-tiba berbicara, ketika mereka berjalan keluar dari supermarket setelah Robyn membeli sekotak rokok. Dada Robyn terasa sesak dan ia hanya ingin menjernihkan pikirannya.

Robyn mengangkat alisnya, kemudian menyulut rokok. Asapnya terbawa cepat oleh angin ketika ia menghembuskannya kembali. Matanya acuh tak acuh menatap jalan. "Kenapa?"

"Kita baru saja melewatinya. Tak jauh dari batas Ernese. Jalan sedikit masuk ke dalam hutan di pinggir jalan."

"Kalau begitu, mari cari ketenangan." Robyn mengacungkan kunci dari kantung jaket kulitnya, kemudian melemparkannya pada Alder. "Mau berkendara kesana?"




⋅⥉⤉⋅

CHAOS ━ BOOK 1 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang