8.⠀⠀Stranger on the Third Floor

896 220 6
                                    

CHAPTER 8STRANGER ON THE THIRD FLOOR

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 8
STRANGER ON THE THIRD FLOOR


⋅⥉⤉⋅

❝Kalau kau mencari Donald Gibson, hanya ada dua kemungkinan: kau mencari narkoba, atau kau mencari 𝖘𝖊𝖘𝖊𝖔𝖗𝖆𝖓𝖌 untuk melakukan pekerjaan kotormu.❞






















Robyn tidak dapat mempercayai matanya.

Di dalam kaca berdebu itu berdiri replika dari ibunya, namun dengan sorot yang keras, rambut yang lebih pendek, serta mata hijau. Robyn mengelus rambut yang baru saja diwarnainya, meraba bagian ujungnya yang masih terasa tajam setelah ia potong hingga hanya menyisakan rambut sepanjang dagu. Pantulan dirinya di cermin terlihat lebih segar, tetapi ada bahaya yang tak terduga seakan siap menerkam dari tatapannya.

Bau bleach rambut memenuhi indra penciuman Robyn, mengingatkannya akan bau klorin di laboratorium kimia dimana ia dan sahabat-sahabatnya menyelinap untuk mencuri beberapa buah gelas ukur. Malam-malam yang liar, penuh rokok dan ganja, juga heroin di dalam tas kecil An. Seberapapun salahnya hal itu, Bruce membayar mereka dengan uang yang lumayan.

Bagaimanapun, Robyn tahu pada saat itu dia kekurangan sosok sahabat. Kat dan An datang, mereka sama-sama terisolir dari yang lain, mereka sama-sama hadapi hidup yang berat, juga adiksi pada barang mematikan; mereka cocok. Semuanya indah, sebelum nyawa mereka melayang satu persatu dalam usia yang cukup muda.

Robyn mengesampingkan kenangan akan sahabat-sahabatnya ketika kenangan tentang ibunya merangsek masuk. Ia menghela napas, menatap dirinya sendiri dalam cermin; dalam rambut yang berhasil ia warnai pirang pucat persis ibunya, juga polesan lipstik merah gelap. Tak dapat dipungkiri, ia seakan melihat ibunya sekali lagi.

Berdiri di belakang kaca, tak bisa berbuat apa-apa.



⋅⥉⤉⋅



"Satu wiski, on the rocks," seru Robyn pada bartender. Ia merasa luar biasa gugup sekali, dan setelah menimbang-nimbang, Robyn berasumsi segelas kecil wiski bisa menenangkan syarafnya. Sambil sesekali mengetukkan tumitnya pada bangku bundar yang tengah ia duduki, Robyn memandang kubus-kubus kecil es yang beradu dengan bagian dasar gelas, kemudian sedikit mengambang ketika ditambahkan wiski ke dalamnya.

Robyn telah menyewa sebuah kamar di atas bar Goliath sejak perpisahannya dengan orang-orang di Bar Blackwater, dan kini, sambil sesekali menghirup wiski dari gelasnya, Robyn dapat melihat betapa buruknya suasana di tempat itu. Satu-satunya bar yang pernah ia duduki untuk waktu yang lama hanyalah bar milik Wall. Walau begitu, ia tak terkejut ketika mendapati kacaunya kondisi manusia di sini.

Andai saja ia tak ingin melakukan pembalasan dendamnya, Robyn mungkin tak akan sudi menginap. Ia tak akan sudi duduk di antara huru-hara penghuni kota dosa ini, tak sudi mendengarkan kebisingan yang membuat kepalanya berdenyut bagai dihantam palu.

CHAOS ━ BOOK 1 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang