40 : Penghujung

119 4 0
                                    

Lalu setengah jam setelah itu, langit mulai sepi dari ledakan petasan. Saat mereka sedang memakan jagung bakar hasil bakaran tadi, Alin menerima telfon dari Caca dan mengangkatnya.

"Waalaikumsalam, bun.."

Saat giliran Caca memberikan alasan kenapa dia menelfon Alin, tiba-tiba saja, Alin mematung dengan mata yang membulat sempurna. Lalu tanpa sadar, pipinya basah karena air matanya...

"Ga..lang..??"

Alin dan yang lain langsung meninggalkan acara itu. Berita ini melebihi dari berita bahwa kini sudah berganti tahun. Alin menumpangi motor jadul milik Regan. Itu sudah menjadi pilihan terakhir selain memesan ojek online yang memakan waktu cukup lama.

Tanpa lama, mereka sampai di rumah sakit. Alin yang berlari lebih dulu untuk sampai di kamar Galang. Empat tahun lalu, saat malam tahun baru, disaat Alin sangat rapuh, Galang yang berada di sampingnya. Ia hanya ingin membalas itu.

Hentakan kaki Alin menggema di lorong, lalu sampailah Alin di depan pintu kamar Galang.  Lalu perlahan Alin membuka pintu kamar itu. Dan Alin mendapati seorang Caca yang tengah memeluk putranya sambil terisak tangis.

"Galang..." Alin benar-benar kehabisan air matanya sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Doa yang ia panjatkan selama dua tahun akhirnya terjabah. Alin melangkah perlahan menuju ranjang Galang.

Sang empunya nama menoleh ke arah sumber suara. Tatapannya sangat kosong, cukup lama sepasang mata mereka bertemu. Caca melepas pelukannya dari Galang, seakan memberi giliran untuk Alin untuk memeluknya.

Tak ingin berlama lagi, Alin menaruh kedua tangan serta tubuhnya di Galang. Pelukan itu kian mengerat. Sangat erat. Namun Galang tidak membalas pelukan itu. Tangannya diam mematung di atas pangkuannya.

Lalu teman-teman yang lain baru sampai di kamar Galang. Beberapa dari mereka menjatuhkan kristal bening dari mata mereka. Melihat adegan yang cukup mengharukan, karena setiap hari, dua tahun mereka melihat Alin berfoto dengan Galang dalam keadaan koma.

Kini tujuan hidup Alin kian terlihat kembali bersamaan dengan kembalinya Galang. Alin tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya ingin seperti itu lebih lama lagi. Lalu Alin sadar, Wati masih menjadi kekasih Galang sampai sekarang. Alin melepas pelukan itu, lalu menatap wajah Galang pekat.

"Hai, Lang." sapa Alin dengan senyum termanisnya.

Tatapan Galang masih kosong, masih sama seperti pertama Alin melihatnya, lalu keluar sepatah kata yang membuat seisi ruangan kaget luar biasa.

"Kamu.. Siapa?"

Dughh!!

Seperti ada hantaman besar yang menabrak dada Alin. Dadanya sesak, nafasnya memberat, matanya membulat sempurna. Alin seperti ditimpa seribu batu, sakit. Sangat sakit. Atas semua yang ia lakukan selama dua tahun, kini ia menuai sesuatu yang bukan ia ingin. Kaki Alin melemas, ia kehilangan keseimbangannya.

Seisi ruangan kaget, kecuali Caca karena itu ada pertanyaan kedua yang ia dengar dari mulut putranya.

Kini harapan yang Alin tunggu selama dua tahun, tidak sirna, tidak hilang, hanya sia-sia. Alin terjatuh berlutut, merenungi sesuatu yang tak bisa ia kembalikan sepenuhnya. Setidaknya dia bisa melihat Galang bangun dari tidur panjangnya.

Kekosongan mulai menyelimutinya kembali, selama du tahun, dia menunggu orang yang dulu sering mengacak-acak pucuk rambutnya, yang sering mencubit pipinya, yang terkadang memeluknya. Bukan hanya kekosongan, dia juga kehilangan sosok manusia yang memberinya semangat setiap hari.

Lima bulan berlalu, Galang sudah kembali di kenalkan sosok orang-orang yang berjasa di hidupnya. Dia sudah tahu kembali Alin. Namun dia lupa Alin siapa. Amnesianya sangat parah.

GALANG [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang