3. BAD TIME

1.2K 150 7
                                    




Terlahir sebagai anak broken home dengan kekerasan hati sang ayah menjadi pengaruh pada sikapnya yang terkadang sering membantah. Keinginan ayahnya untuk membantu mengembangkan bisnis di perusahaan tak menyita seleranya. Yah, meski orang tuanya kaya namun tak membuat Farhan bisa bermanja. Dia memilih menjalani hidup sendiri dengan bekerja di sebuah bengkel milik seorang yang dulu dia bantu kehidupannya.

Dia tak mau menjadi anak durhaka. Terkadang masih mampir ke rumahnya yang mewah itu hanya sekedar memastikan keadaan di sana baik-baik saja dan si mbok tidak terlalu mengkhawatirkannya. Wanita paruh baya yang menemaninya dari kecil itu sudah menjadi ibu kedua baginya. Yang rela dimarahi sang ayah jika ketahuan membantu membelanya atau sekedar membacakan dongeng sebelum tidur kala dulu.

"Mbok senang sekarang den Farhan sering pulang." Wanita itu tersenyum sambil memerhatikan pemuda itu sedang memilih baju di depan lemarinya.

Farhan menoleh ke arah si mbok sambil menenteng dua kemeja di tangannya.

"Bagusan mana mbok, yang kanan atau kiri?"

"Kanan."

Seperti di dikte Farhan meletakkan kembali kemejanya yang tak terpilih ke dalam lemari kemudian mengambil posisi duduk di dekat si mbok.

"Den Farhan mau kencan ya?"

"Harus di bilang berapa kali si mbok, panggil Farhan aja, emangnya kita udah bersama berapa lama?"

Si mbok malah tersenyum. Agak sedikit risih jika hanya memanggil pemuda di depannya ini tanpa ada embel-embel karena bagaimana pun juga Farhan ini adalah anak majikannya.

Menatap lekat pada sosok yang dewasa dan terlihat tegar ini membuatnya mengingat masa kecil Farhan yang sering sekali menangis kala merindukan sang ibu. Bocah kecil dulu yang sangat cengeng sudah berubah menjadi sosok yang mandiri. Merasa seperti membesarkan anak sendiri.

Farhan meraih kedua tangan si mbok lalu menciumnya.

"Doakan Farhan ya mbok."

Wanita itu mengangguk sembari mengelus kepala pemuda itu.

Kadang hidup mengajarkan betapa kebahagiaan itu tidak bisa di beli dengan apapun.



***



Mengerjapkan mata beberapa kali sambil memegangi pipi kirinya. Terasa nyata jika bekas tamparan di pipinya ini hanyalah sebuah mimpi.

Menatap tak percaya pada sosok cantik di depannya yang sudah memberinya rasa sakit di pipinya.

"Gina, kok lo ada di sini?"

"Gue rasa Cafe ini cukup umum, kalo lo mau selingkuh cari tempat yang gak mudah di kunjungi orang."ucap gadis yang bernama Gina itu menahan rasa kekesalannya.

Farhan hanya diam. Mencoba mencerna perkataan gadis itu. Dia yakin sekali belum pernah menyatakan perasaan pada Gina dan sejak kapan dia mendeklarasikan bahwa mereka sudah menjadi seorang kekasih?

Memang dia mendekati gadis itu namun belum pernah mengutarakan perasaannya.

"Gue harap lo jangan pernah hubungi gue lagi." Gina meninggalkan tempat itu dengan perasaan hancur. Laki-laki yang dia kira menyukainya ternyata hanya mempermainkannya.

Sementara itu, Fani yang sejak tadi hanya menonton kejadian yang berlangsung di depannya mulai berdiri dan memasang raut yang sulit di artikan. Farhan yang merasakan aura gelap dengan sigap memegangi kedua pipinya. Takut di tampar untuk kedua kalinya.

"Gue pikir lo cowok yang bisa di percaya, nyatanya sama saja." Fani mendengus sambil terus menatap tajam ke arah Farhan.

"Gue gak akan melakukan hal yang sama seperti gadis tadi."

Farhan menelan saliva gugup. Yakin mendapatkan hal yang lebih buruk dari yang tadi.

"Fan, gue bisa jelas-"

Suara Farhan tercekat kala tinju dari Fani menghantam perutnya membuatnya mundur beberapa langkah. Tak bisa berkata dengan memegangi perutnya yang sakit tangannya mencoba mencegah tindakkan yang akan dilakukan Fani selanjutnya.

"Sebelum bertindak gegabah, lo pikirin dulu akibatnya." Fani pun meninggalkan tempat itu.

Farhan lupa kalau Fani seorang atlet tinju. Belum rasa sakit di pipinya hilang sekarang bertambah dengan sakit yang luar biasa di perutnya.

Dia memerhatikan pengunjung Cafe yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan mengejek atau bahkan menyumpahinya.

"Gue bilang juga apa, bandel banget kalo diingatkan." Shandy membantu Farhan untuk duduk kembali di kursi. Bukan secara kebetulan Shandy datang kalau sekarang Farhan sedang berada di Cafe tempat teman sekamarnya itu bekerja.

"Gue hanya sial saja hari ini." ditengah kesakitannya masih sempat Farhan tertawa.

"Mau sampai kapan kayak gini?"

Farhan menatap heran. Dia merasa apa yang dia lakukan bukanlah hal yang patut di salahkan. Dia hanya mencoba menjadi seorang yang ramah. Asal hidupnya senang apapun akan dia lakukan.

"Berhenti peduli sama gue, nanti gue jadi suka sama lo."candanya kemudian mendapatkan tatapan tajam dari Shandy.

"Kalo lo Cuma buat keributan di sini mending pulang aja."

Shandy benar-benar meninggalkan Farhan. Dia harus kembali bekerja sebelum di tegur sang pemilik Cafe.

Sementara Farhan hanya menatap sendu kepergian Shandy. Dia tahu sekali laki-laki itu sangat mengkhawatirkannya. Masih belum berubah.



***

SATU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang