CERITA ZWEITSON

782 111 4
                                    




Tak ada yang menyangka di balik senyum yang selalu ia tampilkan menyimpan sebuah kesedihan.

Dia bukan tidak merelakan, hanya saat teringat momen yang indah itu pasti diam diam hatinya menangis.

Teringat kala sosok hangat dan tegas itu mengisi hari harinya. Salah seorang yang mendukung penuh mimpinya.

Sekarang sudah 10 tahun lamanya dia kehilangan semua hal terindah yang dilakukan saat bersama seperti dulu.

Yah, dulu sebelum kecelakaan tragis yang merenggut salah satu cahaya dalam hidupnya.

Pemuda berkaca mata itu sudah berjongkok di depan sebuah makam yang sudah tampak di tumbuhi rumput liar.

Perlahan tangannya terulur menyentuh batu nisan itu dan menyingkirkan daun daun kering di sana.

Sebuah bunga dia letakkan di atas makam itu, kemudian bibirnya dia paksakan untuk tersenyum.

"Halo yah, maaf Soni datang terlambat."

Kembali dia menghela nafas mencoba menahan sesuatu keluar dari matanya. Namun tetap saja hal sama akan terjadi kala berada di depan makam sang ayah. Airmatanya pun turun juga.

"Maaf Soni belum bisa nepatin janji untuk tidak menangis...."

Dia menggigit bibir bawahnya berusaha menahan segala gejolak di dalam hatinya.

"Soni rindu ayah..."

Bahkan sekarang suaranya sudah bergetar dalam tangisannya.

Melepas kacamatanya dan menghapus kasar airmatanya.

"Gimana kabar ayah disana? Semoga ayah selalu bahagia. Doakan Soni ya yah agar bisa jadi anak yang membanggakan."


Flashback on


"Ya Soni pasti bisa!!"

Seorang pria dewasa tampak menyemangati seorang bocah yang sedang berlari kecil sambil menendang sebuah bola.

Dengan langkah kecilnya akhirnya bola itu masuk ke gawang saat bocah itu dengan sekuat tenaga menendangnya.

"Yeah golll!!" teriak pria itu.

"Sini." panggilnya hingga bocah laki-laki berponi itu berlarian kecil ke arah sang pria itu.

Dengan sigap pria itu merentangkan tangan bersamaan dengan bocah itu berada dalam pelukan.

"Soni hebat! Keren!" pria itu mengacak pelan rambut si bocah kemudian mencubit pipi tembemnya. Sementara bocah yang berumur 5 tahun itu tampak kesenangan.

"Soni hebatkan yah?!"

Pria itu mengangguk kemudian mendudukkan bocah itu di sebuah kursi sementara dia masih tetap berjongkok di depannya.

"Dengar, Soni itu laki-laki. Jadi laki-laki itu gak boleh gampang menangis karna seorang laki-laki itu harusnya melindungi. Mengerti?"

Bocah itu hanya mengangguk Patuh.

"Apa pun yang terjadi Soni harus jadi laki-laki yang kuat biar bisa jagain mama dan kakak."

****

Sebuah kue ulang tahun sudah berada di atas meja lengkap dengan berbagai hiasan serta lilin di sana.

Semuanya sudah siap untuk memulai pesta ulang tahun bocah laki-laki itu. Sayangnya si bocah belum mau memulai sebelum ayahnya hadir di sana.

Akhirnya mamanya berinisiatif untuk menghubungi sang ayah.

Namun sebuah nomor asing menelpon.

"Hallo." mamanya menjawab panggilan telepon itu.

"Betul ini saya istrinya."

Detik selanjutnya bocah itu melihat perubahan raut wajah mamanya.

Setetes air keluar dari matanya bersama dengan tubuhnya yang merosot untungnya sang kakak segera menahan tubuh mamanya.

"Ayah kecelakaan..." hampir tak terdengar kala mamanya berucap karna wanita itu sudah menangis dalam pelukan kakaknya.

Bocah laki-laki itu hanya menatap kosong ke arah kue ulang tahun. Dia tak menangis karena dia sudah berjanji pada sang ayah untuk menjadi laki-laki yang kuat.

****

Setibanya di rumah sakit mama dan kakaknya langsung menuju ruangan dimana ayahnya masih ditangani oleh dokter.

Ruangan itu masih tertutup karena dokter masih bekerja demi menyelamatkan nyawa seseorang disana.

Yah bocah itu masih tak menangis meski mamanya sudah memeluknya dan terisak disana. Dia hanya mengusap pelan punggung wanita itu.

Pintu ruangan terbuka membuat mama dan kakaknya segera menghampiri sang dokter.

"Bagaimana keadaan suami saya dok?"tanya mamanya masih berlinang airmata.

Dokter itu hanya menghela nafas dan menggeleng pelan membuat mamanya menangis histeris kemudian tanpa izin langsung masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan kakaknya.

Dokter itu menghampiri bocah yang masih tertegun di tempat.

"Kamu harus jadi anak yang kuat."ucap sang dokter sembari mengelus pelan puncak kepalanya.

Bocah itu melangkah menuju ruangan.

Hingga kakinya sampai di depan pintu dia melihat sebuah kain putih telah menutup tubuh ayahnya. Sementara mamanya masih menangis sambil memeluk tubuh sang ayah dan kakak perempuannya mencoba menenangkan mamanya.

Untuk pertama kalinya setelah janji yang dia ucapkan bersama ayah ia langgar.

Gejolak yang sangat menyiksanya tiap kali ia tahan pada akhirnya terlepas.

Airmatanya pun turun membasahi pipi tembemnya. Pandangannya pun sudah buram karena desakkan airmata yang terus ingin keluar.

"Ayah......"

Flashback off

Sebuah tangan menyentuh pundaknya membuat Zweitson tersadar akan kenangan masa lalunya.

Tanpa sadar pipinya sudah basah oleh airmatanya.

Dia bangkit sambil mengusap airmatanya dan kembali memasang kacamatanya.

"Gue rasa ayah lo sudah bangga sama lo, buktinya lo bisa nepatin janji lo untuk terus menjaga dan melindungi mama dan kakak lo."

"Makasih Ji lo mau nemenin gue ke sini."

Fajri merangkul Zweitson dan menepuk pelan pundaknya.

"Nangis itu bukan untuk cewek aja, laki-laki juga boleh nangis kok. Jadi kalo ada hal yang memberatkan apabila dengan menangis bisa meringankannya kenapa harus ditahan."

Zweitson mengangguk sembari menatap makam sang ayah sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat itu.

Meski raga tak bersama namun semua kenangan indah itu akan terus berputar dalam memorinya.




***




Lagi galau dengarin lagu 'still with you' nya Jk😭

Sumpah, tuh lagu menyayat ati bgt

Maap klo curhat 😁, btw ada yg suka bts gak d sini??



SATU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang