Tidak ada yang tahu kebenarannya bahwa ternyata alasan Farhan lebih memilih tinggal di kos dan meninggalkan rumah mewah adalah ia merasa kesepian meskipun dari kecil ia terbiasa sendiri karena terus ditinggal Mama dan papanya bekerja. Enggan menuruti keinginan papanya agar ia dapat melanjutkan perusahaan mereka, jadi ia memilih untuk pergi dari pada terus di teror papanya.
"Kalo kamu gak mau ikut permintaan Papa, silahkan keluar dari rumah ini dan tinggalkan semua barang yang papa kasih ke kamu!" Ancam papanya waktu itu. Sebenarnya papanya tidak bermaksud mengusir Farhan, tapi nampaknya anak itu menganggap ucapan papanya adalah sebuah keseriusan.
Mereka memang sering bertengkar jika membicarakan hal itu dan Farhan tetap pada keyakinannya untuk menolak hingga pada hari itu ia memutuskan untuk benar-benar pergi dari rumah.
"Asal papa tau, Farhan memang udah nunggu papa buat ngusir Farhan dan terima kasih hari ini papa udah ngabulin permintaan aku." Lalu dengan raut kecewa Farhan masuk ke kamarnya untuk mengemasi barang-barang.
"Den Farhan jangan pergi." Si mbok menahan tangan Farhan yang akan melangkah menuju pintu. Sementara papanya hanya diam sembari memijit keningnya. Ia tidak mungkin menahan setelah apa yang ia ucapkan tadi.
"Maaf ya mbok, kali ini Farhan udah gak tahan lagi, nanti aku bakal sering ke sini kok," bisiknya mencoba menghibur wanita yang sudah seperti ibunya itu yang menangis menatapnya.
"Janji sama mbok?"
Farhan mengangguk lalu memeluk tubuh renta wanita itu.
"Hati-hati ya Den."
Farhan pun benar-benar meninggalkan rumah besarnya dengan perasaan sedih dan kecewa, tapi di sisi lain ia merasa bebas.
***
Entah berapa lama Farhan melangkah menyusuri jalanan sore itu hingga ia tak sadar ternyata ia sudah berjalan terlalu jauh. Bukannya tak punya uang, ia masih sempat memasukan beberapa lembar uang sisa jajannya ke dalam saku celana, hanya ia tidak tahu harus kemana.
Langit senja berganti gelap dan lampu dari rumah dan gedung-gedung sudah dinyalakan. Suasana seperti ini sudah biasa baginya karena hampir setiap malam ia keluar sekedar nongkrong bersama teman-teman motornya. Namun, sekarang ia malah tampak seperti gelandangan.
Ia terduduk di tepi trotoar sembari memandangi seorang pemulung yang sedang mencari sesuatu di bak sampah.
"Kayaknya kalo gue gak nemuin tempat tinggal juga, gue bakal kayak bapak itu."
Farhan kembali melangkah mendekati bapak pemulung itu.
"Bapak sudah makan?" tanyanya. Bapak itu menatapnya kaget sedikit bingung karena jarang sekali ada yang mau menyapanya.
"Belum, Nak."
Lantas Farhan merogoh saku celananya dan memberikan selembar uang bewarna merah kepada bapak itu.
"Bapak sekarang beli makan ya."
"Tapi, Nak...." Bapak itu mau menolak uang yang diberikan Farhan, tapi ia menggeleng.
"Gak baik nolak rezeki Pak, terima ya."
Bapak itu mengucap rasa terima kasih berkali-kali pada Farhan dengan mata yang sudah memerah ingin menangis.
"Semangat kerjanya ya Pak."
Setelah itu Farhan kembali melangkahkan kaki. Dengan senyuman yang merekah ia bersiul senang. Ternyata seperti ini rasanya menolong orang lain seperti lega dan bahagia sekali.
Di tengah jalan ia melihat sebuah mobil menabrak salah satu pengendara motor hingga tanpa pikir panjang Farhan segera berlari.
"Pak! Bapak!" Farhan mencoba menyadarkan pengendara motor itu. Tapi setelah melihat darah yang banyak Farhan segera menyetop taksi dan membawa tubuh pengendara itu masuk ke sana.