Yang namanya Farhan tidak akan ambil pusing kalau orang disekitarnya merasa terganggu ataupun tersinggung akan tingkahnya. Makanya kadang banyak yang tidak menyukai sifatnya itu. Namun sebenarnya dibalik itu diam-diam dia adalah orang yang paling perhatian.
Terbukti kala salah satu diantara penghuni kosan itu sakit, pasti dia yang lebih dulu sibuk mencarikan obat atau sekedar menanyakan keadaannya.
Seperti pagi ini, dia merasa ada yang aneh dengan Fenly. Pemuda itu tampak lesu saat sarapan bahkan makanan yang sudah di hadapannya tidak di sentuh sama sekali.
Farhan yang merasa ada yang tidak beres tetiba menyentuh dahi Fenly. Dan menyadari bahwa pemuda itu sedang tidak dalam kondisi yang baik.
"Lo panas Fen, lo demam ya?"tanya Farhan perhatian.
Seketika ketiga penghuni kosan menatap si kalem itu. Benar wajahnya pucat.
"Gue lemes aja."
Gilang yang berada di sebelah ikut menempelkan punggung tangannya ke dahi Fenly.
"Iya nih, lo sakit."
Farhan berdiri dari kursinya. "Gue ke apotik dulu."
Sementara Shandy ikut kuatir.
"Hari ini gak usah ke kampus dulu, lo istirahat aja."
"Tapi bang--"
"Benar yang dikatakan bang Shandy, nanti biar gue yang izinin lo."sahut Ricky.
Membantah bukanlah keahlian Fenly. Seperti anak baik dia menurut kala Gilang mengantarnya ke kamar. Meski sebenarnya hari ini ada banyak yang harus dia lakukan di kampus, salah satunya berusaha meyakinkan Dekan Fakultas.
"Soal minta persetujuan Dekan, biar gue yang lakuin. Lo percaya sama gue, perizinan itu pasti kita dapatkan." Gilang mencoba menenangkan Fenly agar tidak perlu banyak yang dipikirkan.
Fenly beruntung punya teman kosan yang sangat perhatian layaknya keluarga. Dulu dia sempat berpikir akan sulit berinteraksi kala pertama bergabung di kosan ini. Karena pada dasarnya dia bukanlah orang yang mudah dekat dengan siapapun. Tapi nyatanya belum genap satu tahun dia di sini, mereka sudah seperti saudara.
Shandy datang membawa bubur.
"Sebelum nanti lo minum obat, makan dulu biar perut lo gak kosong amat."
"Makasih bang."
"Tapi gue gak bisa nemenin lo, gue harus kerja."
"Gak apa bang, gue gak perlu di temenin." Fenly tahu seluruh penghuni kosan ini memiliki kegiatan tersendiri. Dia tidak mau membuat semuanya terlalu kuatir.
Disaat sakit seperti ini dia merindukan mamanya. Biasa mamanya selalu menjaganya kala sakit dan sabar merawatnya.
Tapi yang namanya merantau harus bisa mandiri.
***
Farhan menunggu si apoteker mengambil obat yang dia pesan. Sembari memainkan ponselnya, dia tak pernah kehabisan stok gebetan.
Farhan membalas pesan dari Dita yang ingin mengajaknya bertemu. Hingga suara dari si apoteker mengalihkan perhatiannya.
"Mas ini obatnya."
Mengambil plastik yang berisi obat sembari menyerahkan uang pada si apoteker.
Farhan keluar dari apotek masih dengan sibuk membalas pesan dari Dita hingga menabrak seseorang.
"Maaf."ucap Farhan tanpa melihat sosok yang dia tabrak.
"Farhan."
Panggilan seseorang menghentikan langkah Farhan. Berhenti menatap ponsel dan fokus pada seseorang yang memanggilnya.
Terdiam cukup lama menatap seorang gadis yang juga melihatnya tanpa kata.
Bibir Farhan seolah kelu. Hingga gadis itu mendekatinya dan memberikan seulas senyum.
"Apa kabar?"sapa gadis itu lalu melihat plastik yang di pegang Farhan. "Kamu sakit?"
Farhan berdeham mencoba menormalkan suasana.
"Bukan, Fenly yang sakit."
"Kamu memang gak berubah, selalu perhatian."ucap gadis itu mengenang masa lalu bersama pemuda itu.
"Lo....kapan pulangnya?"
Sandra merasa Farhan sudah menganggapnya sebagai teman. Yang dulu pemuda itu memanggil dengan kata 'kamu' dan sekarang sudah berubah. Dia tahu dia yang salah. Harusnya dia bisa menerima, tapi entah kenapa terlalu sakit.
"Aku sudah pulang 2 minggu yang lalu."
Farhan menelan saliva, kemudian mengangguk. Suasana ini terlalu canggung baginya. Mungkin karena sudah 2 tahun, dia tidak lagi berinteraksi dengan Sandra.
"Gue senang lo baik-baik saja."ucap Farhan lalu tersenyum. Ingin segera beranjak namun pergelangan tangannya di pegang. Dan dia tahu Sandra sudah menahannya.
Dia berbalik menghadap gadis itu.
"Apa aku gak punya kesempatan kedua?" tanya Sandra penuh penyesalan.
Farhan melepaskan tangan Sandra.
"Maaf San, gue gak pantas buat ngasih lo kesempatan lagi." Farhan tahu diri. Percuma saja dia memberikan kesempatan jika pada akhirnya mereka tidak akan bisa bersama.
Wajah Sandra nampak sedih, dia menunduk menatap aspal. Mencoba menahan segala sesak yang sekarang mulai dia rasakan.
"Aku... Aku..." Sandra berusaha menahan sakit di dadanya. Dia tidak mau terlihat lemah di depan Farhan. Tapi, sekuat apapun dia tahan malah menambah rasa sakit di dadanya.
Sandra merosot ke aspal, untungnya Farhan memegang tangan gadis itu jadi tidak terlalu sakit saat lututnya menyentuh aspal.
Malah Farhan yang tampak panik.
"San, lo sakit?"
Sandra benci mengakuinya. Tapi dia juga tidak bisa berbohong. Penyakit jantung yang sudah lama dia idap kadang menyerang kapan pun.
"Tolong aku Han." Sandra mencengkram jaket pemuda itu.
Sandra tidak tahu kalau penyakitnya bisa kambuh sekarang, padahal tadi dia ingin membeli obat sebagai persediaan jika penyakit kambuh sewaktu-waktu.
"Gue antar lo ke dokter!" Farhan segera menggendong Sandra di punggungnya.
***
Farhan membuka kamar Fenly. Pemuda itu sudah terlelap.
Dia merasa bersalah karena tidak segera memberikan obat untuk Fenly. Meski di sisi lain hatinya juga mengkhawatirkan Sandra yang terpaksa dia tinggal di rumah sakit. Gadis itu untungnya baik-baik saja setelah di tangani dokter.
Farhan menyentuh dahi Fenly dan masih panas. Dia menghela, lalu pemuda itu membuka matanya.
"Bang Farhan gak ke bengkel?"tanyanya serak.
Farhan menggeleng. "Maaf gue telat."
"Gak apa-apa bang, tadi gue udah makan bubur bang Shandy."
Farhan keluar kamar lalu kembali dengan membawa handuk kecil dengan sebaskom air. Dia memeras handuk yang sudah dibasahi. Kemudian meletakkan handuk itu di dahi Fenly.
"Makasih bang." Fenly memejamkan mata kembali. Setelah meminum obat yang dibeli Farhan, matanya terasa berat.
Lagi, Farhan menghela nafas berat. Pikiran kembali mengingat keadaan gadis itu.
Apa benar sekarang hatinya sudah tidak mengharapkan Sandra?
***