6. JANGAN SEDIH YA JI

1.1K 141 9
                                    

Biasanya orang yang sering cerewet atau usil itu terkadang memiliki sisi yang berbeda dalam dirinya. Di luar kadang tak terlihat sebenarnya apa yang dirasakan. Contohnya Fajri. Pemuda itu menjadi sangat pendiam kalau sudah sampai rumah.

Bungsu dari tiga bersaudara itu tidak terlalu terbuka dengan keluarganya. Pernah mengutarakan apa yang dia inginkan, namun seringkali di remehkan atau dibandingkan dengan kedua abangnya. Hingga dia pun memilih untuk mengikuti semua yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya.

"Lo masih main basket kan?" tanya Fauzan, abang keduanya itu di tengah sarapan.

"Masih."

"Udah pernah ikut lomba belum?"

"Belum."

Fauzan menghentikan makannya kemudian memegang pundak Fajri.

"Kok bisa? Memangnya sekolah lo gak ngutus tim basket untuk ikut lomba? Gue dulu ya, kalo ikut lomba gak pernah gagal, selalu juara terus."sombong Fauzan sembari menatap piala yang berjejer di lemari kaca.

Fajri hanya menghela nafas. Telinganya sudah bosan mendengar abangnya itu memuji kehebatannya. Dia tahu sekali Fauzan memiliki banyak bakat, selain jago basket dia juga pintar. Selalu dapat ranking di kelas.

Namun yang dia butuhkan hanyalah dukungan.

"Jangan suka main aja Ji, apalagi nongkrong dengan anak-anak kosan itu. Kan ketularan malasnya. Kamu contoh aja abang-abangmu. Berkat keseriusan mereka sekarang udah sukses."Kali ini mamanya yang ikut andil memanasinya.

"Kok lo diam aja sih."

Fajri meletakkan sendoknya. Selera makannya hilang dalam sekejap. Kemudian beranjak dari tempatnya.

"Aku pergi ke sekolah dulu."ucapnya sembari mencium tangan kedua orang tuanya. Tanpa ingin mendengar celotehan tentang dirinya lagi.

"Anak itu kalo di nasehatin suka gak mau dengerin."





***




Fiki menyenggol lengan Zweitson yang sedang fokus dengan komiknya. Alhasil si kacamata itu menoleh.

"Lo ngerasa gak Fajri hari ini tuh beda banget."bisik Fiki hingga Zweitson menatap Fajri yang tampak lesu sambil mengaduk es teh tanpa gairah.

"Iya, kenapa ya?"

"Woy bengong aja, kesambet nanti lo." Fiki menggeprak meja membuat Fajri menatap dengan raut yang sukar dijelaskan. Antara mau hidup tapi tidak mau mati saja.

"Kalo ada masalah cerita ke kita, jangan di pendem sendiri."

"Iya nih, gak biasanya lo diam gini. Aneh tau gak."sambung Zweitson.

Lagi, Fajri menghela nafas berat.

"Gue lagi kesal aja sama bang Fauzan." akhirnya Fajri membuka mulutnya.

"Kenapa lagi tuh?"

"Males banget gue di bandingkan terus."

Fiki dan Zweitson saling tatap. Mereka sangat mengerti. Fajri hidup dalam lingkungan orang-orang yang sukses dan berbakat. Mungkin sebagian orang akan iri dengan keluarganya namun bagi Fajri sendiri itu merupakan beban untuknya.

"Kalo gitu lo buktiin ke mereka kalo lo juga bisa membanggakan." saran Fiki. Bukannya membantu malah semakin membuatnya bingung.

"Caranya gimana Fik? Perasaan gue udah rajin ke sekolah, gue juga masuk sepuluh besar. Trus basket juga gue ikut. Nah sekarang apalagi?"

Benar. Fajri itu bukanlah termasuk siswa yang berada di posisi belakang. Maksudnya di kelas dia termasuk yang cukup pintar dan dalam basket pun juga bisa hanya belum menyamai abang-abangnya.

"Mungkin abang lo mau lihat lo harus bisa mengungguli dia."

"Gue merasa apa yang gue lakuin sia-sia. Di mata mama pun gue masih belum bisa di banggakan."Fajri terlihat putus asa. Membuat Zweitson ikut terenyuh lalu ingin memeluknya.

"Gue gak butuh lo peluk."cegah Fajri membuat Zweitson mengurungkan niatnya.

Dengan muka masamnya kembali mengambil komiknya. Merajuk.

"Lo belum nunjukin kemampuan lo semuanya. Gue tahu lo itu berbakat. Nah sekarang yang harus lo lakukan adalah berjuang dengan semaksimalnya. Oke?" ucap Fiki memberikan semangat.

Entahlah, Fajri sendiri belum yakin pada kemampuannya. Apakah nanti dia bisa membuat keluarganya melihat keberadaannya?






***



Fajri masuk ke kelas tepat setelah bel berbunyi. Ingin mempersiapkan buku pelajaran malah tangannya menyentuh sesuatu di dalam tasnya.

Sebatang coklat dengan di hiasi pita pink membuatnya tersenyum.

Belum habis rasa penasaran siapa yang memasukkan coklat itu dalam tasnya tetiba ponselnya bergetar. Menampilkan nomor asing disana.

082156******
Udah dapat coklatnya? Gue harap apapun masalah lo saat makan coklat itu bisa lebih membuat hati lo tenang. Hari ini lo keliatan gak semangat banget😔
By: Siska manis😊

Fajri tersenyum. Baru pertama ini dia ada yang memperhatikan seperti itu. Terbayang kembali saat gadis itu mentraktirnya mie ayam. Ternyata apa yang dikatakan saat itu benar.

Setidaknya masih ada yang lebih menghargainya.





***

SATU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang