11. Berubah

142 13 0
                                    

Remang cahaya perlahan masuk bersamaan dengan melebarnya manik dan kesadaran yang baru setengah pulih. Alana mengerjap, ketika menangkap atap ruangan serba putih, dengan dingin yang menyeruak dari luar jendela.

"Raja!" lirih Alana, mengigau.

"Alhamdulillah, kamu sadar juga." Suara itu terdengar dari depan.

Sampai mata Alana terbuka lebar, ia mendapati seorang pria berbalut sweater lengan pendek dan berwajah sedikit kebarat - baratan dengan hidung mancungnya itu tersenyum ramah pada Alana.

"Aww!" Gadis itu meringis dan bangkit perlahan. Kini ia dalam posisi duduk. Alana heran melihat pria yang ada di hadapannya. Wajahnya terlihat ramah. Senyum itu menyambutnya senang bercampur lega.

"Ini ada apa?" tanya Alana sambil memegangi kepalanya, bingung dengan apa yang baru saja ia alami.

Gadis itu tidak mampu mengingatnya. Dan benturan keras tadi menyebabkan banyak darah dan luka yang sekarang terbalut perban.

"Kamu tertabrak. Saya yang nabrak kamu tadi," jawab pria itu, mengingatkannya.

"Maaf ya, tadi saya bawa mobil kekencengan. Untungnya luka kamu gak sampe parah. Tapi tenang, saya yang akan tanggung biaya berobat sampai kamu sembuh," tutur pria itu dengan nada halus. Merasa bersalah dan berusaha meyakinkan Alana.

Alana meringis, "Gak perlu, makasih." tolaknya agak judes.

"Enggak bisa. Saya gak mau ngerasa bersalah terus sama kamu, jadi biarin saya bantu kamu ya?" pinta pria itu dengan sopan.

Alana malas berfikir, jadi ia iyakan saja. Lagipula dirinya begini karena pria itu. Alana tidak perlu buang - buang uang untuk berobat.

"Iya," jawabnya lemah.

"Oh ya. Nama saya Rey. Sepertinya kita sekampus. Terlihat dari pin yang kamu pakai." Pria itu mengulurkan tangan.

Alana menyeliksik wajah itu. Boro - boro mengenalnya, melihat ia pun rasanya Alana tidak pernah.

Ia mahasiswi yang pintar dan aktif di Kampus. Akrab dengan para senior, junior, maupun seangkatan. Setidaknya Alana tahu wajah - wajah mereka. Tapi wajah lelaki ini tidak ada dalam list. Asing.

"Gimana kepala kamu? Masih sakit?" tanya lelaki itu. Alana menggeleng.

"Kita sekampus? Kayanya gue gak pernah liat lo," ujar Alana.

Lelaki itu tersenyum, "Kamu gak akan lihat saya. Saya ini pindahan dari Australia. Baru sehari di Jakarta dan saya sudah terkena masalah ini," ujarnya dengan sedikit gurauan.

"Ooh." Alana hanya membalas begitu.

"Boleh saya tahu nama kamu?" tanya Rey sesopan mungkin.

"Alana," jawabnya lugas.

Rey tersenyum, "Nama kamu bagus. Seperti di Film One Fine Day," ucapnya. Alana hanya terkekeh hambar.

Ini cowok kelewat sopan apa emang gini sih? Ngomongnya gitu banget, batin Alana dengan kening mengerut. Sementara Rey sendiri sibuk menertawakan entah apa.

Alana merasa aneh. Bahasa yang digunakan Rey sangat lugas dan baku. Tapi mengingat kalau ia baru pindah dari Australia, kedengarannya tidak aneh kalau ia bicara begitu. Mungkin Rey belum menyesuaikan diri.

"Ada nomor telepon keluarga kamu yang bisa saya hubungi? Takutnya mereka-"

"Jangan dikasih tau!" cegah Alana, membuat Rey cengo.

"Kenapa?" tanyanya.

"Mereka gak di sini, nanti mereka khawatir," alibi Alana dengan senyum dipaksa.

SACRIFICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang