Lima tahun kemudian.
Entah apa yang dirasakannya sekarang, ia ingin menangis tapi air mata di dalam kelopak itu seakan beku. Dengan betahnya ia masih memandangi gundukan tanah yang masih basah dan bertabur bunga itu. Sakit, perih, sesak. Ketiga rasa itulah yang membuat hidupnya seakan diterjang badai besar.
Semua orang berpakaian serba hitam mulai bangkit dari persinggahan mereka. Meninggalkan dirinya ditemani dua pasang suami istri paruh baya.
Rintik hujan mulai turun membasahi tubuhnya begitu saja. Dingin mulai mencekam, membuatnya tak bisa menahan diri lagi. Setetes air kemudian luruh dari pelupuk mata. Kian banyak bersamaan dengan derasnya hujan yang mengguyur gadis yang kepalanya dibalut perban itu.
Sambil memeluk batu nisan yang beberapa menit lalu ditancapkan, ia menangis sejadi - jadinya. Dadanya seakan sesak. Perih. Sangat sakit. Seperti hujaman pisau yang menancap di dadanya. Gadis itu sangat hancur.
Kenapa harus secepat ini? Baru kemarin ia bersenang - senang dengan Rey. Mereka tertawa, saling cinta. Alana tidak akan pernah siap kehilangannya.
Kenapa Tuhan merenggut Rey ketika Alana sedang sayang - sayangnya?
Seseorang menyentuh bahu perempuan itu. Dengan lirih membujuk agar ia segera pulang.
"Alana, Rey sayang sama kamu. Dia gak mau kamu kaya gini. Rey akan sedih." Dia Maudy. Ibu dari almarhum korban kecelakaan yang ada di dalam gundukan tanah itu. Rey Van Hazian.
"Sayang, ayo pulang." Wanita di sebelahnya menarik pundak gadis itu. Dia Nathania. Ibu dari gadis cantik bernama Alana.
Alana bangkit. Dengan perasaan pilu, ia meninggalkan jasad calon suaminya di dalam sana. Gadis itu berjalan menjauh dituntun oleh kedua wanita yang merupakan ibu dan calon mertuanya.
Keadaannya sangat memprihatinkan. Dari sejak tahu kalau kekasihnya meninggal, ia mendadak jadi seperti manusia kehilangan jiwa. Sulit dipercaya. Padahal mereka baru saja melaksanakan acara pertunangan kemarin.
Saat ini Alana berada di rumah bersama kedua orang tuanya. Mereka sedang berbenah. Lain dengan Alana yang kini malah merenung sambil melepas cincin yang baru saja kemarin melingkari jari manisnya. Tidak ada gunanya lagi. Kekasihnya telah pergi. Cincin itu tidak akan berguna selamanya.
Setelah kematian Rey, Alana memutuskan untuk kembali ke Palembang. Ia tidak jadi menetap di kota ini, dikarenakan seorang yang akan membawanya kini telah tiada.
Keluarganya memutuskan untuk membawa gadis itu pulang. Semakin lama Alana berada di sini, akan semakin larut ia dalam kesedihan. Akan semakin sakit karena ia terus mengenang. Luka dalamnya akan sulit sekali sembuh.
Mungkin ini yang terbaik. Tuhan tidak menakdirkan Rey bersama Alana selamanya. Ia hanya kebahagian sementara.
Mimpi - mimpinya membangun masa depan yang indah bersama lelaki itu pun pupus seketika. Kecelakaan itu adalah malapetaka.
"Barang-barang kamu sudah siap, sayang?" tanya Nathan kepada Alana.
Alana menatap kopernya. Ia sama sekali belum mengemasi apa - apa. Yang dilakukannya sedari tadi adalah melamun. Nathan tersenyum padanya dan mengerti, kemudian menghampiri koper yang masih kosong itu.
"Gak papa. Biar Mama yang beresin," ucap wanita paruh baya itu.
Ia mengeluarkan pakaian - pakaian dari dalam lemari dan melipatnya dengan rapi lalu ditata di dalam koper. Tak lupa barang - barang lainnya. Semuanya tidak ada yang tertinggal.
"Ayo, sayang! Om Arga sama Tante Maudy sudah menunggu di depan," ujar Nathan. Wanita itu menuntun putrinya keluar dari kamar dan menemui David - ayahnya di Ruang Tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SACRIFICE
Teen FictionMeskipun tidak lagi berstatus sebagai pacar, Raja rela melakukan apapun untuk Alana termasuk membagi waktunya dengan sekolah yang amat ketat untuk sekedar menemui gadis itu karena saking cintanya. Sedangkan Alana sendiri yang merasa tak diperhatikan...