33. Hampa

102 8 1
                                    

"Al!" Panggilan lirih itu terdengar di telinga Alana seiring genggaman yang semakin erat pada tangannya.

Mata yang semula mengatup itu kini terbuka perlahan, membiarkan cahaya terang masuk kian jelas bersamaan dengan kembalinya kesadaran dan seuntai ingatan kejadian terakhir.

Alana tersentak. Gadis itu tiba - tiba bangkit dan mendapati Dista sedang menangis di sampingnya.

"Dis!" lirihnya.

Di situlah ia tersadar. Dengan apa yang dialaminya terakhir. Alana pingsan setelah hatinya hancur karena ditinggalkan.

"Dista!" Alana tiba - tiba menangis dan melesak ke dalam peluk Dista. Gadis itu merunduk pada dadanya, sedangkan air mata semakin deras mengalir.

Dadanya terasa sesak, hatinya teriris sakit. Baru Alana sadar, ia sudah mengingat kejadian memilukan itu.

Kenapa Alana harus ingat semuanya? Kenapa Alana tidak hilang ingatan saja? Kalau begitu ia tidak akan sehancur ini.

Kenapa hati Alana terlambat memilih?

"Al, lo sabar ya," ucap Dista seraya mengelus rambut coklat panjangnya. Sedangkan Alana masih betah terisak dalam kehangatan itu.

"Dis, Rey!" Alana menyebutkan namanya.

Dista sudah mengerti. Dari keterangan yang diberikan pelayan yang mendapati Alana jatuh pingsan, sebelumnya gadis itu bersama seorang pria. Namun ia tiba - tiba meninggalkannya, padahal mereka tidak terlihat bertengkar.

"Mungkin ini yang terbaik, Al." Dista berusaha menenangkannya.

Rey meninggalkan Alana. Kalau disangka Dista senang, jawabannya adalah tidak. Walaupun itulah yang diinginkannya, tapi gadis itu lebih menderita melihat sahabatnya tersiksa sendiri seperti ini.

Dulu Dista hanya ingin Alana sadar dan membatasi hubungan dengan Rey. Dista tidak pernah menginginkan Rey meninggalkannya.

"Dis, gue gak rela!" lirih Alana.

Sungguh. Alana tidak pernah merasa sehancur ini. Hatinya terasa sangat hampa setelah sesuatu itu hilang. Walaupun masih ada Raja, semuanya tak akan sama. Kekosongan itu akan tetap hampa. Membuat Alana sadar kalau yang sebenarnya ia cintai adalah Rey.

"Al, percaya sama gue! Kalau jodoh dia pasti akan kembali." ucap Dista, tapi Alana menolak.

"Rey ninggalin gue, Dis. Dia pergi. Gue udah nyakitin dia. Gue cinta sama dia, Dis. Gue gak bermaksud." Gadis itu makin tak tenang. Ia makin tersedu - sedu walaupun Dista sudah memeluknya.

Alana benar - benar merasa kehilangan.  Bertubi kebahagiaan yang ia dapatkan sekaligus hilang, menghempas dirinya begitu saja, dihantam penderitaan. Dilempar ke dalam lubang dan ditimbun di dalam kehampaan.

Dista merundukkan kepalanya bingung. Entah apa yang harus ia lakukan, ia benar - benar tidak tahu. Melihat Alana seperti ini, Dista juga merasa sakit. Karena baginya, Alana sudah seperti saudara sendiri.

•••

Raja sudah siap mengenakan pakaian rapinya pagi ini. Lelaki itu sedang berdiam di balkon hotel seraya memainkan ponsel. Entah mengotak - atik apa, yang jelas ia sibuk sendiri.

Setelah menunaikan solat Subuh tadi, Raja tidak kembali tidur. Ia malah mandi dan bersiap secepat mungkin mengenakan jaketnya. Kelihatan sekali kalau lelaki itu ingin pergi. Diego yang memerhatikannya sejak lama pun jadi penasaran. Pasalnya, lelaki itu kelihatan gelisah sendiri tanpa memberi tahu apapun.

"Raja!" Lelaki itu memanggilnya. Menyodorkan secangkir kopi panas yang langsung diterima lelaki itu.

"Thanks," ujarnya. Kemudian mereka mengadukan kedua gelas itu dan menyeruputnya seraya memandang lalu lalang di bawah.

SACRIFICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang