Dua Delapan

1K 103 2
                                    

Tepat jam 9 pagi, pintu kamar hotel gue diketok. Padahal gue baru aja selesai mandi dan seinget gue, kemaren gue bikin janji buat ketemu itu jam 10 pagi. Karena biar gue bisa ngajak mereka makan siang sekalian. Tapi ternyata, mereka termasuk golong orang tepat waktu juga rupanya.

Begitu gue keluar, Om Azka, Om Zidan, dan Willy juga udah berdiri-diri di lorong. Gue sengaja gak mau sekamar dengan Willy. Karena gue gak mau pikiran gue keganggu cuma buat ngeseks sama dia.

"Selamat pagi, Pak Ferly."

"Pagi." gue jawab salam keempat orang itu. Dua diantaranya adalah pengacara pribadi gue. Dan dua lainnya merupakan informan gue. "Untuk saat ini, kalian gak usah ikut."

"Baik, Pak Ferly."

"Hai...!" Willy nyapa gue. Seperti biasanya, dia selalu nyembunyiin rasa sakit di balik wajah bodohnya itu.

"Gak papa kan, om?" Gue tanya ke dua dokter muda itu.

Om Zidan malah noleh ke Willy. "Kamu bagaimana, Wil?"

"Aku agak gugup, pa." jawab Willy pelan. "Gak tau kenapa, dari semalem aku gak bisa tidur."

Gue tau kenapa dia sampai gak bisa tidur. Entah dia kecewa karena gak sekamar sama gue. Atau --- dia gugup karena akan bertemu dengan kedua orang tua dari anak yang mendonorkan jantungnya untuk dia.

Mereka sudah menunggu di Lounge rupanya. Pas kami dateng, suami isteri itu agak ragu untuk menyapa kami.

"Selamat pagi, bapak dan ibu --- Wiguna." gue ngejabat tangan kedua orang tua itu. Ekspresi mereka keliatan beda banget waktu lagi jabat tangan sama si Willy.

Gue sengaja gak buka obrolan. Gue biarkan mereka saja yang bicara duluan. Maksud gue antara suami isteri itu dan kedua dokter yang duduk di kanan dan kiri gue ini.

"Nak Willy ---" wanita paruh baya itu membuka mulutnya. "Bagaimana kabarnya?"

"Aku, baik --"

Wanita itu menjulurkan tangannya, hendak meraih tangan Willy. Namun Willy malah menarik tangannya menjauh.

"Apa kalian kenal dengan Dokter Zidan?" gue gak mau berlama-lama jujur aja.

Suami isteri mengangguk segan.

"Dimana terakhir kali kalian bertemu dengannya?"

"Pemakaman anak kami --" jawab pria tua kurus itu.

Ekspresi mereka benar-benar biasa. Sorot mata dan raut wajah, sama sekali tak memperlihatkan emosi dan amarah.

"Kalian tidak dendam? Kalian tidak mau menuntutnya..?"

"Ferly --" Om Zidan noleh ke gue.

"Aku akan langsung ke intinya.." kata gue dengan satu tangan nopang dagu. "Kalian tau, apa hukuman yang akan kalian terima kalo sampai terbukti pernyataan yang kalian buat itu adalah kebohongan..."

"Ferly..." Om Zidan mendesah pelan. "Saya sama sekali tidak marah dengan apa yang telah mereka lakukan."

"Tapi mereka harus mengembalikan nama baik Om Zidan dan Om Azka!" Nada suara gue naik. "Berapa yang kalian terima sebagai uang tutup mulut?!"

"Itu --- pak..."

"Kenapa diam?!"

"Fer, lo jangan keras-keras sama mereka.."

"Lo jangan ikut campur, Wil!"

"Tapi mereka orang tua, Fer!!"

"Orang tua?!" Gue makin emosi. "Orang tua siapa?!! Lo ngebela mereka karena lo ngerasa hutang budi, atas jantung yang ada di tubuh lo itu?!"

The EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang