Empat Tiga

1.7K 124 13
                                    

"Kamu kenapa melamun terus, hmnm?" Bokap ngeremes tangan gue.

Gue senyum simpul. Ada sedikit pikiran yang ngeganjel di otak gue sebenarnya. Meski gue gak bisa pungkiri, kalo gue lagi bahagia banget ngeliat bokap yang udah siuman.

"Papah sudah dengar dari mamah. Apapun pilihanmu, papah tidak bisa melarangnya."

"Bukan itu, pah.." jawab gue singkat.

Tok-Tok.

"Malem pah -- Mas Ferly.."

Gue gak nyangka banget kalo adek gue itu dateng dengan cowok yang berbeda dari sebelumnya.

Anies natap gue penuh makna. Sepertinya cowok inilah yang dimaksud sama dia kemaren malem.

"Papah pulang besok ya..?" tanya Anies.

"Iya. Kamu bisa dateng jemput papah kan?"

"Anies usahain, pah." jawab adek gue sambil senyum malu-malu.

"Jadi ---" gue ngelipat tangan di depan dada. "Putro. Kamu tinggal ngekos sendirian, tamatan STM dengan nilai pas-pasan, pernah sempat kuliah di Gunadarma hanya satu semester, pernah magang di KFC, jadi cleaning service di Bank Mandiri tujuh bulan, jadi barista di Uni Coffee shop tiga bulan, dan --- sekarang kamu kerja jadi penyebar brosur restoran di Blok M Square."

"I -- ya, mas." dia keliatan gugup banget.

Jelas, dari penampilannya aja beda banget dengan cowok yang sebelumnya dibawa Anies.

Oke, gue akuin kalo cowok sebelumnya itu emang putih, tinggi, keren, ganteng, dan keliatan terpelajar. Meski agak tengil dan sombong.

Tapi cowok yang sekarang dibawa adek gue itu --- penampilannya sederhana. Warna kulitnya mengingatkan gue akan si Willy. Wajahnya juga gak ganteng. Tapi gak ngebosenin juga. Pakaiannya juga bukan dari merek mahal.

Tapi --- gue yakin cowok ini punya satu keistimewaan yang cuma bisa diliat sama adek gue.

"Ferly, kamu ini jangan begitu sama adikmu sendiri.."

"Aku cuma mau mastiin kalo dia itu --- akan jadi pendamping Anies untuk yang pertama dan terakhir."

"Berapa gajimu sebulan disana?"

"Mas Ferly ihh ---"

"Jawab aja --"

"Delapan ratus ribu, mas." jawab Putro sesekali menunduk.

"Delapan ratus ya --" gue menghela. "Untuk biaya kontrakkan aja sebulan paling enggak lima ratus. Belom listrik, air, iuran keamanan, makan, dan lain-lain."

"Kan aku juga kerja, mas."

"Gajimu berapa?" gue tanya adek gue.

"Delapan juta, mas. Itu juga belum lemburan, transport, dan uang makan harian."

Kalo dipikir secara logika, tentu aja jomplang banget jumlah pendapatan antara adek gue dan cowoknya itu.

"Kamu beneran yakin dengan keputusanmu?" gue tatap Anies.

"Aku ---" Anies malah noleh ke cowoknya itu. "Yakin, mas."

"Kalo gitu, kamu harus pilih --- dia --- atau --- pekerjaanmu itu.."

"Maksud, mas apa?"

"Gajimu emang besar. Tapi kamu lupa, kalo diperusahaanmu itu, ada pria pilihan mamah. Benar kan?"

"Ferly, tapi di perusahaan itu adekmu sudah mendapat posisi penting dan berpengaruh."

"Anies, kamu tau kan gimana sifatnya mamah?"

The EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang