Jreeeennnggg...!!!
Oke, akhirnya gue dan Aldo sampai juga di club itu. Dari luar, club itu keliatan seperti club biasa. Gak ada tulisan, gambar, ataupun ornamen yang menunjukkan kalo club itu adalah club khusus kaum gay.
Mulai dari turun mobil, kita berdua udah disambut sama petugas valet parking. Mereka --- maksud gue pria-pria bertubuh tegap serta manly, sepertinya gak percaya kalo gue dan Aldo yang baru aja turun dari porsche 718 white ini. Apalagi pas gue tunjukkin member card vvip punya gue.
Jujur, gue agak gugup malem ini. Karena gak biasanya gue dateng ke acara kayak gini. Apalagi malem ini, gue dateng dengan penampilan gue yang sesungguhnya. Tanpa wig, dan tanpa noda-noda jerawat di muka gue.
"Selamat malam ---" dua pria yang berjaga di pintu lobi utama itu tampak ragu sepertinya. "Bisa lihat ktp-nya?"
Gue langsung ngeluarin KTP dan member card gue. Baru deh, mereka nyambut gue bak raja dari kerajaan mimi peri. Preettt...!
Dari situ, gue diantar lagi ke meja resepsionis. Ternyata untuk masuk ke club ini enggak semudah yang gue bayangin. Ada penjagaan super ketat dan berlapis, sebelum akhirnya pengunjung benar-benar diperbolehkan masuk.
"Kartu untuk loker, dan voucher gift untuk welcome drink."
"Owhh, makasih."
Wajah Aldo berkali lipat lebih cemas dan gugup dari gue. Terlebih saat pria-pria itu seolah mandangin gue dengan nafsu dan libido yang udah di ubun-ubun.
Gak semua gay itu suka sama cowok berotot, manly, dan berwajah tampan. Ada juga dari mereka -- bahkan cukup banyak, yang menyukai wajah-wajah imut dan tubuh kurus seperti gue ini. Dan bagi Aldo, apa yang gue lakuin ini --- sama aja kayak kelinci yang masuk ke dalam kandang singa!
Gue sama Aldo gak langsung turun ke lantai basement. Karena gue mau pemanasan sedikit dengan duduk-duduk di lounge sambil ya --- menikmati minuman dan liat-liat pemandangan.
Seperti yang udah gue bilang tadi, baru aja gue nginjekkin kaki di lounge, beberapa pasang mata langsung ngarah ke gue. Padahal kan penampilan gue udah biasa banget.
"Fer, aku gak bisa minum alkohol.." dia bisik-bisik.
"Yaudah, pesen aja apa kek gitu. Lagian, pake-pake voucher gift. Kayak orang susah aja..!" kata gue.
Setelah dapet kursi yang menurut gue pas, gue inisiatif buat ke bar. Daripada harus manggil-manggil pelayan, bikin lama aja.
"Malam --" bartender itu ngelempar senyum ke gue. Manis sih. Tapi gue gak yakin dia bersih.
"Aku mau pesen ---" gue duduk dengan satu tangan nopang dagu, dan satu tangan lagi ngetuk-ngetuk meja. "Vanilla milkshake, sama coca cola dingin."
"Va -- va -- nilla?" bartender itu kayak gugup.
"Iya. Ada kan?!"
Dia ngangguk pelan. Awas aja kalo disini mereka cuma menyediakan minuman alkohol doang, bakalan gue perkarain nih tempat ke publik.
Tok-Tok
"Biasa ya...!"
Gue ngelirik sekilas. Ada sesosok cowok berkulit putih, berhidung mancung, bermata kecil, dengan kemeja pink garis-garis merah tipis, berlengan panjang yang tiba-tiba duduk di sebelah gue.
"Mas, ada air mineral gak?!" tanya gue dengan suara agak keras.
"Sendirian aja..?"
Gue celinggukkan. Tau-tau cowok berparfum maskulin itu ngejulurin tangan kanannya ke gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eye
Teen FictionTidak ada yang spesial dariku. Namun beberapa orang menganggapku malah sebaliknya. Ketika mulutku sekali terbuka, akan kubuat mereka semua terdiam. Mereka tidak pernah tahu, kalau aku --- mempunyai banyak mata yang akan selalu mengawasi. #cerita gay...