Gue ngeliat ke dalem rumahnya Willy, dia sama bokapnya lagi duduk berduaan sambil nonton tv. Sebenernya si Willy kagak nonton. Tapi dia lagi sibuk dengan hapenya sendiri.
Tok-Tok...
Meskipun pintu rumah itu selalu terbuka buat gue, tapi kan gak enak aja kalo langsung nyelonong masuk tanpa permisi.
"Mau pergi kemana?" tanya Willy antusias.
"Pergi mulu, maunya. Gak liat, dimana-mana sekarang jalanan pada ditutup?"
"Hehehe --" Sambil cengengesan si Willy tiduran di depan tv.
"Malem, om."
"Malam juga, Ferly. Kirain sudah tidur."
"Tadinya sih emang udah. Tapi, aku ada perlu mendadak sama om nih.."
"Apaan, tuh?"
Gue cuma ngelirik doang ke Willy. "Begini om, kalo aku mau pesan nasi box bisa gak?"
Tinn..!!
"Will, kamu bukain pintu sana.."
"Oke, pap!"
Om Dwi kembali natap gue. "Ferly mau pesan untuk apa emangnya..?"
"Untuk makan para pekerjaku, om. Kalo aku gak salah, mungkin ada sekitar --- hmmm --- dua ratusan orang."
"Kebeneran banget lo ada disini, Fer." Willy udah balik lagi sama Om Zidan. "Bokap bawain salak sama mangga nih.."
"Tadi, ada keluarga pasien yang kasih. Mau ditolak mereka memaksa. Lagipula rezeki kan gak boleh ditolak." Om Zidan duduk di sebelah Om Dwi.
"Capek ya, om?" tanya gue ke Om Zidan.
"Enggak terlalu."
"Heh, pijitin sana! Jadi anak itu harus tahu bales budi..."
"Kan gue lagi mau ngupas mangga dulu.."
"Tumben udah malem Ferly disini." Om Zidan senyum ke gue.
"Gini om, tadi aku lagi nanya ke Om Dwi, apa Om Dwi bisa buatin nasi box buat dua ratusan orang."
"Banyak sekali. Buat kemana memangnya?"
"Buat orang yang kerja sama aku. Kan aku punya pabrik masker, sama orang-orang yang lagi ngerjain baju adp. Hhehee.."
"Gimana, Wi..?" Tanya Om Zidan.
"Aku juga gak tahu, Dan. Kalau pun bisa, aku harus cari orang yang bisa buat bantu aku."
"Kan ada Yuka, Aldo, sama Willy, om --" gue asal jeplak aja.
"Aku sih oke-oke aja, pap."
"Ferly mau mulai kapan?" tanya Om Dwi.
"Terserah aja. Kalo bisa sih mulai lusa." jawab gue. "Sama itu om, kalo orang yang kerja di klinik om ada berapa orang?"
"Sekitar dua sampai tiga puluh orang." jawab Om Zidan.
"Nahh, untuk makan siang dan malam nanti aku aja yang tanggung."
Willy ngeletakkin pisaunya gitu aja. "Lo serius, Fer? Lo gak takut uang lo abis..?"
"Selama yang gue keluarkan itu bisa bermanfaat buat orang lain, gue gak pernah takut kalo stok uang gue bakal habis. Hhehee.."
"Ferly, bukannya Om tidak setuju dengan niat baikmu itu. Tapi, uang itu kan adalah uang peninggalan orang tua kamu."
Gue ngehela nafas. Mungkin, gue harus jujur sama mereka tentang keadaan gue yang sebenarnya.
"Semua uang itu, gak ada hubungannya dengan orang tuaku." gue berusaha bicara senormal mungkin. "Aku pergi dari rumah, ketika umurku 15 tahun." tapi gue gak bisa nahan emosi gue, tiap kali gue harus inget kejadian itu lagi. "Mereka menganggap kalo kelainan orientasi seksualku adalah aib keluarga. Mereka gak pernah mengusirku. Tapi aku yang memutuskan untuk pergi saat itu."
![](https://img.wattpad.com/cover/218771850-288-k600992.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eye
Teen FictionTidak ada yang spesial dariku. Namun beberapa orang menganggapku malah sebaliknya. Ketika mulutku sekali terbuka, akan kubuat mereka semua terdiam. Mereka tidak pernah tahu, kalau aku --- mempunyai banyak mata yang akan selalu mengawasi. #cerita gay...