Tiga Sembilan

931 94 0
                                    

(Lanjutan chapter sebelumnya. Masih di hari yang sama...)

"Fer ---"

Gue pelototin si Willy. "Berisik lo ah!"

Dia megang tangan gue sambil cengengesan gak jelas. "Kalo misalnya gue beneran gak selamat gimana?"

"Yaa, lo gak bakal bisa ngentot lagi sama gue!"

Emang dasar bego banget si Willy. Baru juga gue ngomong gitu, dia udah langsung mau bangun aja.

"Diem dulu, bego!"

Brakkk...!!

"Anak kita pak!! Anak kita meninggal!!"

Gue tetep berdiri diem mematung di sebelah Willy. Gue mau liat dengan mata kepala gue sendiri, gimana reaksi kedua orang itu saat ngeliat dada Willy yang dalam keadaan terbuka dan dengan jantungnya yang sudah dikeluarkan.

Tentunya operasi bedah ini cuma bohongan. Dan lagi, yang dibedah itu bukan dada aslinya si Willy. Melainkan cuma property yang gue pesen khusus seharga seratus juta.

Meskipun merem, tapi bola matanya keliatan lagi bergerak-gerak di balik kelopak matanya itu. Dasar Willy si manusia tolol!  Kalo mereka tau lo masih idup, bisa hancur semua rencana gue.

"Ini kan yang kalian mau ---" gue mulai buka suara. Daritadi lidah gue udah gatel banget buat nyemprot dua manusia sialan itu!

Gue ambil jantung manusia yang udah diletakkan dalam wadah besi yang sebelumnya sudah diisi es batu steril itu.

"Kalian berani macem-macem sama aku ---" gue sodorin jantung itu ke mereka. "Kok bengong?! Ambil nih! Willy udah gak butuh jantung anak kalian! Dia udah mati!"

"Pak ---" si wanita itu menjerit makin keras. "Pak...!!"

"Ambil atau ---" emosi gue udah naik sampai ubun-ubun.

Tlannnggg...!!

Gue lempar wadah berisi jantung itu ke lantai. Dan disitu rasanya gue puas banget ngeliat ekspresi syok kedua orang itu.

"Jangan buang anak kami...!!"

Gue ikuti jongkok di depan mereka. "Gue udah pernah bilang, jangan coba-coba bikin masalah lagi sama gue ---"

"Maafkan kami ---"

"MAAF KALIAN BILANG, HAH?!!"

"Kami memang salah. Kami memang salah.."

Gue kembali bangkit dan ngambil pisau bedah dari atas meja operasi. Gue mainin pisau itu di atas jantung manusia itu.

"Gue rasa, apa yang bakal gue lakuin ini belom seberapa ---"

"Jangan...!! Tolong jangan...!!" wanita itu merintih dengan derai air mata yang tak kunjung reda. "Kami dipaksa...!! Kami dipaksa...!"

"Dipaksa, hah...?!" Gue ambil segelas darah segar dari atas meja operasi. "Sekarang, kalian minum darah ini atau --- bakal gue koyak-koyak ---"

"Kami memang dipaksa!!" Mulut pria tua brengsek itu akhirnya bersuara juga. "Dokter itu yang telah memaksa kami untuk membuat pengakuan palsu!"

"Benar!!" kini isterinya menimpali. "Mereka mengancam akan memenjarakan kami, kalau kami tidak menurut!"

"Tolol..!" gue acungin pisau bedah ke arah mereka. "Kalian itu orang tua -- sudah punya anak dan cucu -- tapi otak kalian gak lebih dongok dari seekor keledai!"

"Ferly --" Om Zidan manggil gue pelan.

Gue ambil lagi jantung itu, meski gue harus tarik-tarikkan dengan wanita bedebah itu.

The EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang