"Om yakin, selama Om Zidan kerja di Sun Hospital gak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun?"
Belom pernah gue ngeliat Om Dwi secemas ini. Gue tau kalo mereka berdua udah hidup bersama cukup lama. Dan pastinya, tidak ada rahasia disembunyikan antara keduanya.
"Om --"
Om Dwi menggeleng lemah. "Om kenal betul siapa Om Zidan. Ia --- jangankan untuk menghilangkan satu nyawa manusia, ia bahkan pernah menyelamatkan dua nyawa paisen, padahal seluruh dokter lain telah memutuskan bahwa kedua pasien itu sudah dinyatakan meninggal.."
Udah jam delapan malem, dan Willy udah ngasih kabar kalo dia baik-baik saja. Dia bahkan mendapatkan kamar kelas 1 dan perawatan yang sangat memuaskan.
"Gak mungkin kan kalo mereka gak kenal Willy?"
"Entahlah." jawab Om Dwi singkat. "Itu sudah terjadi lama sekali. Mungkin saja mereka sudah melupakannya."
Gue coba terus nelpon si Aldo. Tapi dari pagi, dia sama sekali gak ada kabar. Gue emang cemas, tapi yang lebih gue takutkan adalah --- dia sampai membelot.
Gue gak bisa ngegali lebih dalem lagi dari Om Dwi. Karena titik pusat dari semua masalah ini adalah Om Zidan. Gue harus ketemu dia secara langsung dan menanyakan lebih detail, apa yang sebenarnya terjadi.
Gue telepon seseorang yang gue sendiri gak tau apa orang itu bisa bantu gue apa enggak. Tapi seenggaknya dia bisa bantu gue buat nemuin orang yang ngerti masalah kayak gini.
Tutt -- Tutt -- Tutt...
"Selamat malam ---" Prabu dan Debbie muncul dari pintu samping.
"Ini aku, om. Apa besok om bisa temenin aku ke kantor polisi pusat..? Sekitar jam sepuluhan pagi. Oke."
"Maaf, kalau saya ---"
"Berapa yang udah kalian terima dari rumah sakit itu?!" Gue langsung melontarkan pertanyaan itu kepada kedua orang itu.
"Ferly --" Om Dwi keliatan gak setuju dengan pertanyaan gue.
"Kalo mereka gak ikut campur, kenapa bisa sampai ada garis polisi di klinik?!" emosi gue makin meradang. Ternyata semua polisi sama aja. Kalo udah berhadepan dengan duit, mereka langsung gelap mata semua.
"Ferly, Tante akan jelaskan dulu --"
"Gak usah tante-tante! Umur gue sama Prabu itu cuma beda tiga tahun!"
"Tiga tahun?!" Debbie terbelalak. "Kalo sama kamu beda tiga tahun, berarti umur kamu dan aku ---"
"Ferly dan kamu cuma terpaut satu tahun, Deb.."
"Kamu gak bercanda kan, Prab?"
Prabu geleng. "Dia memang berumur 25 tahun. Dan ---" Prabu kini natap gue. "Dia bukan keponakkan gue.."
Drrrtt ---
Hape gue bergetar sekaligus kedap-kedip di atas meja. Tapi gue acuhin aja, karena bukan dari orang yang menurut gue penting.
"Di mata masyarakat, mungkin kami memang sudah tercoreng citranya." Prabu mulai ngomong lagi. "Tapi, tidak semua dari kami seperti itu ---"
"Saat kejadian itu berlangsung, aku dan Prabu lagi ditugaskan untuk menyelidiki kasus bunuh diri di daerah ---" Debbie gak meneruskan kalimatnya karena Prabu menyentuh tangannya.
Gue gak tau harus percaya sama mereka atau gimana. Karena disini, gue ngerasa kalo gue harus hati-hati banget sama dua orang itu. Gue gak tau apa yang lagi mereka rencanakan saat ini. Tapi, gue harus jaga jarak dan tetap waspada. Terutama sama Prabu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Eye
Teen FictionTidak ada yang spesial dariku. Namun beberapa orang menganggapku malah sebaliknya. Ketika mulutku sekali terbuka, akan kubuat mereka semua terdiam. Mereka tidak pernah tahu, kalau aku --- mempunyai banyak mata yang akan selalu mengawasi. #cerita gay...