Tlululuttt....!
"Iya, gimana om? Beneran?! Oke. Kita langsung kesana sekarang...!"
Perasaan gue seneng banget pas dengar dari salah satu orang gue, kalo ternyata orang -- maksud gue, keluarga pendonor itu masih menyimpan bukti rekaman medis pada saat anaknya dulu dioperasi. Dan yang lebih ngebuat lega adalah, karena mereka bersedia menjadi saksi pada peradilan Om Zidan nanti.
"Lo mau kemana?!"
Willy muncul dari balik tembok samping rumah gue. Padahal gue sengaja mau berangkat sepagi mungkin, supaya gak ada yang tahu. Tapi nyatanya --- dia...
"Gue mau jemput bokap lo."
"Bokap?!" Dia kayak kaget gue. "Lo mau ngebebasin bokap gue?!" Dia makin mendekat. "Gimana caranya?"
"Dijelasin pun lo gak bakal ngerti." Gue pun langsung naik ke mobil.
"Gue ikut." Willy nahan pintu mobil gue. "Please. Bolehin gue ikut --" dia ngeyakinin gue lewat keseriusan di wajahnya.
Gue pun gak bisa nolak. "Oke. Tapi tolong, lo jangan berbuat yang aneh-aneh nanti."
Dia ngangguk tanda setuju. "Gue mau ambil jaket sama hape dulu."
Pas Willy balik ke rumahnya, Yuka pun keluar dengan Aldo. Dia sempet-sempetnya bikinin bekal sarapan buat gue.
"Hati-hati ya, kak."
"Thank's ya buat bekalnya." kata gue. "Oh ya, mulai hari ini --- orang-orang itu gue tugasin buat ngejaga rumah dan kalian. Kalo kalian mau pergi, minta aja mereka buat nganterin."
"Ferly, apa semuanya akan baik-baik aja?" Tanya Aldo cemas.
"Lo gak usah khawatir. Karena gue akan nyelesain semuanya, secepat mungkin."
"Ferly --" Om Dwi muncul dengan Willy. "Apa betul, kamu ---"
Gue ngangguk pelan. "Om, tolong titip rumah dan mereka. Kalo perlu apa-apa, aku udah ninggalin kartu kredit di Yuka dan Aldo."
"Hati-hati --" pesan singkat itu terlontar dari mulut Om Dwi.
"Pap, aku berangkat dulu." kata Willy setelah duduk manis di dalam mobil gue. "Wihh, gue gak nyangka kalo lo punya mobil semewah ini."
Gue tatap mereka sekali lagi sebelum pergi. Semoga aja, semua urusan gue hari berjalan lancar.
Tujuan pertama gue hari ini adalah membebaskan Om Zidan dan Om Azka. Baru setelahnya kita akan lanjut dengan menemui keluarga itu di Bandung.
Gue terus merhatiin Willy yang duduk berhadapan gue. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Karena sejak tadi dia gak bisa diem. Sebentar-sebentar bergerak ke kiri. Sebentar-sebentar ke kanan. Ngebuka kulkas mini dan nyala matiin tv kayak orang bodoh.
"Mobil kayak gini sih, pasti harganya miliaran ya ---"
"Kemaren gimana?" gue mulai bicara serius sama dia.
"Pas di rumah sakit?"
Gue muter bola mata. "Menurut lo?"
Dia senyum smirk. Dia ngatur posisi duduknya senyaman mungkin, sebelom akhirnya bicara lagi sama gue.
"Bisa gak, lo bicara gak ketus lagi sama gue?"
Gue kaget ngedenger dia bicara kayak gitu. Gue pikir sikap dia agak aneh. Biasanya dia gak pernah masalahin sikap dan cara ngomong gue yang kayak gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eye
Teen FictionTidak ada yang spesial dariku. Namun beberapa orang menganggapku malah sebaliknya. Ketika mulutku sekali terbuka, akan kubuat mereka semua terdiam. Mereka tidak pernah tahu, kalau aku --- mempunyai banyak mata yang akan selalu mengawasi. #cerita gay...